Tantangan Distribusi Guru Nasional

(Dok. Sinarharapan.co)


Pergelaran Pilpres 2014, seakan menjadi pembenaran bagi pemerintah untuk melupakan isu-isu dasar tentang persoalan pendidikan. Padahal, setumpuk persoalan pendidikan telah lama menanti untuk dicarikan solusi. Salah satu persoalan klasik yang hingga saat ini kurang mendapatkan perhatian serius dari pemerintah adalah pemerataan distribusi guru. Guru hanya menumpuk di perkotaan, di pedesaan dan di daerah-daerah strategis saja, sementara di daerah 3T (terluar, terdepan, tertinggal) jumlah guru sangatlah tidak sepadan dengan banyaknnya siswa yang ada. Data Pemetaan guru dari BPSMP- PMP Kemendikbud (2011) menunjukkan bahwa persebaran guru masih sangat sentralistik. Di perkotaan, jumlah guru berkelebihan hingga 52 persen, di pedesaan berkelebihan hingga 68 persen, sedangkan di daerah 3T terjadi kekurangan guru hingga 66 persen. Ketidakmerataan distribusi guru tersebut jelas akan berpengaruh pada kualitas pendidikan di Tanah Air secara menyeluruh. Daerah yang mempunyai rasio perbandingan guru dan murid ideal tentu akan mempunyai generasi penerus pembangunan yang cakap, berkualitas, dan berilmu. Sedangkan daerah 3T yang notabene memang mengalami defisit guru, tentu akan kesulitan melahirkan generasi penerus seperti yang diharapkan. Karena itu, pemerataan distribusi guru seharusnya mutlak menjadi prioritas utama pemerintah dan Kemendikbud untuk segera diselesaikan dalam sisa waktu periode pemerintahan empat bulan ke depan. Sudah menjadi kewajiban pemerintah, khususnya Kemendikbud tentunya untuk membuka kesempatan seluas-luasnya bagi pemenuhan kebutuhan pendidikan seluruh rakyat Indonesia, tak terkecuali untuk generasi penerus bangsa yang tinggal di daerah 3T tersebut.
Potensi Kerawanan
Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang tercantum dalam BAB XA tentang HAM. Lebih dari itu, Pasal 28 C dan Pasal 31 UUD 1945 juga menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak dasar setiap warga negara Indonesia. Karena itu, baik secara moril maupun secara konstitusi negara bertanggung jawab atas terselesaikannya semua persoalan yang menghambat terselenggaranya proses pendidikan, termasuk persoalan pemerataan distribusi guru. Jika ditelaah secara mendalam, maka setidaknya ada tiga potensi kerawanan yang menyebabkan penyelesaian persoalan distribusi guru ini menjadi berlarut-larut. Pertama, ketiadaan upaya pemerintah secara sungguh-sungguh untuk merevisi klausul UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dalam UU tersebut ditegaskan bahwa sebagian kewenangan pusat beralih menjadi kewenangan daerah, termasuk kewenangan pengelolaan guru. Karena itu tiga kementerian terkait, yaitu Kemendikbud, Kemenpan RB, dan Kemendagri harus segera melakukan pembicaraan untuk merevisi  klausul UU tersebut, khususnya klausul yang terkait langsung dengan kewenangan pengelolaan guru. Kedua, Kemendikbud terlalu memfokuskan persoalan pendidikan hanya pada kurikulum saja, sehingga persoalan-persoalan mendasar lainnya menjadi terlupakan. Memang sudah menjadi lazim di negara ini bila terjadi pergantian menteri pendidikan, maka kemudian akan diikuti juga dengan pergantian kurikulum. Pada akhirnya, persoalan-persoalan dasar pendidikan lain menjadi terbengkalai dan hanya menjadi wacana saja setiap tahunnya. Ketiga, ketiadaan peta distribusi penempatan guru. Idealnya, Kemendikbud sebagai kementerian yang bertanggung jawab penuh atas kualitas dan kuantitas penyelenggaraan pendidikan nasional mutlak mempunyai peta distribusi penempatan guru yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN). Dengan begitu, meski secara langsung pemerintah pusat terbatasi oleh UU Otonomi Daerah (Otda) untuk mengatur pemerataan guru, namun setidaknya pemerintah mempunyai gambaran pasti terkait persebaran guru-guru secara nasional. Atas dasar itu, Kemendikbud melalui pemerintah pusat bisa saja memberikan penekanan kepada daerah untuk mengatur distribusi  guru di daerahnya agar lebih merata.
Esensi Pendidikan Publik
Sekali lagi, negara ini perlu menakar kembali esensi dari pendidikan publik. Pendidikan publik merupakan sarana untuk membangun jiwa bangsa (national and character building), mencerdaskan generasi muda, dan mencapai perubahan ke arah yang lebih baik. Mengutip kalimat yang pernah diucapkan Nelson Mandela, “Education is the most powerfull weapon which you can use to change the world”, maka negara ini perlu segera melakukan revolusi distribusi guru agar bisa mencapai perubahan yang diinginkan. Revolusi dapat dimaknai sebagai perubahan kebijakan secara mendasar, menyeluruh, dan berkelanjutan. Berkaca dari kebijakan distribusi guru yang ada, seperti Sarjana Mengajar di Daerah Terpencil, Terdepan, dan Terluar (SM3T), jelas tidak mampu menjawab dan menyelesaikan persoalan pemerataan distribusi guru. Pasalnya, para guru SM3T hanya mengajar sementara waktu (temporer), padahal daerah 3T membutuhkan guru-guru permanen dan berkualitas yang mau mengabdikan diri di daerah tersebut. Oleh sebab itu, revolusi distribusi guru juga harus menyentuh ranah-ranah kebijakan yang sudah ada pada saat ini. Kebijakan SM3T bukanlah kebijakan yang salah, hanya saja penekanan tujuan dari implementasi kebijakan ini harus dibenahi. Tujuan dari implementasi kebijakan tidak lagi hanya pada aspek pengalaman agar mendapatkan guru-guru yang berkualitas, tetapi juga harus mampu menjadi solusi persoalan pemerataan distribusi guru di Tanah Air. Negara ini dulu pernah bersedia mengirimkan ribuan guru-gurunya ke negara tetangga, Malaysia demi membantu meningkatkan kualitas pendidikan di negara tersebut. Karena itu, tak ada salahnya bila pemerintah melakukan hal yang sama pada daerah 3T. Dengan distribusi guru yang lebih merata, bukan tidak mungkin kualitas pendidikan di negara ini akan terus membaik. Wallahu a’lam bish- shawab!

Dipublikasikan dalam Opini Banjarmasin Post edisi 19 Juni 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar