![]() |
(Dok. fncounter.com) |
Sejak tanggal 1
Agustus lalu, pemerintah melalui Badan Pengatur Hilir Minyak dan gas Bumi (BPH
Migas) telah mengeluarkan 3 (tiga) kebijakan terkait pembatasan bahan bakar
minyak (BBM) bersubsidi. Tiga kebjakan tersebut ialah tidak menjual solar
bersubsidi di Jakarta Pusat, tidak menjual premium bersubsidi di SPBU yang
berada di jalan tol seluruh Indonesia, dan pembatasan pembelian solar
bersubsidi mulai pukul 08.00 hingga 18.00 WIB. Konon, alasan dikeluarkannya
kebijakan tersebut adalah demi menghemat kuota BBM bersubsidi, akibat
membengkaknya konsumsi nasional BBM bersubsidi. Berdasarkan data
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), realisasi penyaluran BBM
bersubsidi hingga semester pertama tahun 2014 mencapai 22,91 juta kilo liter
(kl). Kondisi ini lebih tinggi dari kuota yang direncanakan sebesar 22,81 juta
kl. Berdasarkan data tersebut, realisasi BBM bersubsidi untuk premium telah
mencapai 17,08 juta kl atau 58 persen dari kuota persediaan BBM bersubsidi yang
ditetapkan pemerintah. Sementara, konsumsi solar bersubsidi telah berada
dikisaran 60 persen dari total kuota 15,16 juta kl. Berdasarkan kalkulasi
pemerintah, jika tidak dilakukan upaya-upaya pembatasan maka subsidi BBM, baik
untuk premium maupun solar akan jebol. Premium bersubsidi diprediksi akan habis
di tanggal 19 Desember 2014, sementara solar bersubsidi akan habis sebelum 30
November 2014.
Penyakit
Kronis Bangsa
Persoalan BBM
bersubsidi memang telah lama menjadi salah satu penyakit kronis bangsa ini.
Jika tidak dikelola dengan baik, bisa saja penyakit kronis ini akan membunuh
bangsa ini secara perlahan. Persoalannya, hingga kini belum ditemukan solusi
yang tepat untuk mengatasi “penyakit kronis” ini. Bahkan, argumen para pakar
pun selalu berseberangan jika dihadapkan pada persoalan BBM bersubsidi tersebut.
Sebagian pakar berargumen bahwa, mengurangi subsidi BBM secara bertahap dan
akhirnya menghapus subsidi sama sekali, akan bisa menjadi solusi untuk
mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Lebih jauh,
subsidi tersebut nantinya bisa diarahkan untuk keperluan pembangunan
infrastruktur yang tepat guna. Apalagi kondisi infrastruktur di negara ini bisa
dikatakan memprihatinkan. Rilis The
Global Competitiveness Report 2013-2014 yang dikeluarkan oleh World Economic Forum, memperlihatkan
bahwa kondisi infrastruktur Indonesia berada pada peringkat 61 dari 148 negara.
Di ASEAN, kondisi infrastruktur nasional tertinggal dari Singapura (peringkat
2), Malaysia (29), Thailand (47), dan Brunei Darussalam (58). Singkatnya,
dengan mengurangi subsidi BBM dan menghapusnya sama sekali, maka APBN akan
lebih sehat, tepat sasaran, dan rakyat pun akan lebih dekat dengan
kesejahteraan.
Celakanya,
sebagian pakar yang lain justru mengemukakan hal yang sebaliknya. Mengurangi
subsidi atau bahkan menghapuskan subsidi BBM sama sekali akan menimbulkan
inflasi yang akan berimbas langsung pada masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
Daya beli masyarakat akan menurun, dan imbasnya kesejahteraan mereka akan ikut terpuruk.
Walhasil, persoalan subsidi BBM ini menjadi buah simalakama bagi pemerintah. Di
makan Ayah akan mati, tak dimakan Ibu yang akan mati. Tak heran bila di tengah
kebimbangan tersebut, pemerintah lantas acap mengeluarkan kebijakan yang
terkesan tumpul dan setengah- setengah. Misalnya saja, pemasangan radio frequency identification (RFID),
pembelian BBM bersubsidi nontunai, pemasangan stiker mobil dinas pemerintah,
dan pengadaan mobil low cost green car
(LCGC). Semua implementasi kebijakan tersebut tidak pernah mampu membawa dampak
signifikan terhadap upaya penghematan kuota konsumsi nasional BBM bersubsidi. Konsumsi
BBM bersubsidi dari tahun ke tahun tetap meningkat, akibatnya anggaran subsidi
BBM mau tak mau juga terus mengalami peningkatan.
Bernasib
Sama
Nampaknya, tiga
kebijakan pembatasan BBM bersubsidi teranyar yang baru saja dikeluarkan BPH
Migas pada 1 Agustus lalu juga akan bernasib sama dengan kebijakan terdahulu. Ini
bukan wujud pesimisme penulis, akan tetapi secara akal sehat pun dapat dipahami
bahwa implementasi kebijakan tersebut hanya bersifat searah. Menteri ESDM, Jero
Wacik dalam pernyataannya mengungkapkan bahwa, implementasi tiga kebijakan yang
dikeluarkan saat ini hanyalah sebagai upaya pengendalian konsumsi BBM
bersubsidi agar tidak melebihi kuota yang sudah ditetapkan Pemerintah bersama
DPR di tahun ini. Di sisi lain, laju dan
pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor
juga terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Gabungan
Industri Kendaraan bermotor Indonesia (GAIKINDO) dan Asosiasi Sepeda Motor
Indonesia (AISI), dalam tiga tahun terakhir rata-rata angka penjualan mobil
mencapai 1,1 juta unit per tahun dan angka penjualan motor mencapai 7,6 juta
unit per tahun. Maka, dapat dipastikan implementasi tiga kebijakan teranyar
pemerintah tersebut juga hanya akan menemui jalan buntu dan bahkan bisa
menimbulkan persoalan-persoalan baru di masyarakat.
Oleh karenanya,
Pemerintah sudah semestinya melakukan upaya sungguh-sungguh dalam menangani
persoalan BBM bersubsidi ini. Dalam artian, implementasi kebijakan jangka
pendek yang telah dikeluarkan pemerintah untuk mengamankan konsumsi nasional
BBM bersubsidi saat ini, mutlak harus diimbangi dengan strategi penanganan
persoalan BBM bersubsidi untuk jangka panjang. Argumen para pakar yang selama
ini berseberangan terkait pengurangan maupun penghapusan subsidi BBM harus
disamakan terlebih dahulu. Pemerintah harus mengambil peran sentral dalam hal
tersebut, misalnya dengan melakukan research
secara intensif dan menyajikan data ilmiah yang kemudian dielaborasikan dengan
argumen masing-masing pakar. Dalam konteks ini, kepentingan politik apapun
harus dihindari. Sehingga, apapun keputusan pemerintah dalam menyelesaikan
persoalan BBM bersubsidi nantinya, baik itu melanjutkan, mengurangi maupun
menghapus subsidi BBM, akan tetap mendapatkan dukungan seutuhnya dari seluruh
rakyat Indonesia. Semoga!.
Dimuat dalam Opini Harian Waspada edisi 29 Agustus 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar