Membumikan Spirit Idul Fitri


(Dok. nasional.kompas.com)
Momen Hari Raya Idul Fitri kali ini berbarengan dengan berbagai kejadian yang menggerogoti nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas yang butuh tanggapan dan penyikapan secepatnya. Di Palestina, saudara-saudara kita umat muslim merayakan Idul Fitri di tengah-tengah ancaman serangan dari zionis Israel. Korban tewas akibat serangan tersebut hingga kini telah mencapai 1.000 jiwa lebih. Hal ini jelas merupakan tragedi kemanusiaan yang memilukan di tengah-tengah suka cita umat muslim negeri ini merayakan Idul Fitri. Sementara itu, di dalam negeri sendiri usaha menggerogoti nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas pun nampak jelas dalam ritual elektoral yang diselenggarakan, baik dalam pemilukada hingga kontestasi pilpres yang baru saja dilaksanakan. Nalar ambisius segelintir elit politik untuk keluar sebagai pemenang dalam demokrasi elektoral dengan menghalalkan segala cara begitu kentara terlihat. Tak heran, bila dalam ritual elektoral tersebut selalu tak pernah lepas dari adanya praktik-praktik kecurangan, seperti praktik politik uang (money politics), praktik jual-beli suara (vote buying), dan praktik manipulasi jumlah suara. Karenanya, tak salah rasanya apabila dalam merayakan momen Idul Fitri 1435 H kali ini, evaluasi dan introspeksi diri menjadi hal utama yang tak boleh dilupakan.
Tak Mengulang Dosa
Pada hakikatnya, Idul Fitri memiliki makna bahwa umat Islam yang telah bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah puasa akan diampuni dosanya sehingga menjadi suci kembali seperti bayi. Sebagaimana sabda Rosulullah yang artinya “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci”. Oleh karenanya, setelah kembali fitri (suci) semestinya umat Islam tak lagi kembali melakukan perbuatan-berbuatan yang bisa mengakibatkan adanya dosa. Para pejabat dan abdi negara hendaknya meningkatkan kualitas pelayanannya kepada publik, bukan malah mengkorupsi dan memanipulasi hak-hak yang seharusnya diberikan untuk kesejahteraan rakyat. Di sisi lain, rakyat hendaknya tidak berburuk sangka kepada semua pejabat dan abdi negara. Karena, masih banyak pejabat negara yang benar-benar bekerja untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyatnya. Maka, evaluasi dan introspeksi yang dilakukan harus disertai dengan kesadaran diri untuk tidak kembali mengulang perbuatan-perbuatan tercela di masa lalu. Kesadaran diri ini akan terbangun baik apabila silaturahmi juga dibangun dengan baik. Kondisi inilah yang saat ini mulai hilang di negara ini. Silaturahmi antar pejabat maupun silaturahmi pejabat dengan rakyat hanya kentara terlihat saat menjelang penyelenggaraan ritual elektoral. Selebihnya, pejabat dengan pejabat maupun pejabat dengan rakyat dalam kehidupan berjalan sendiri-sendiri.
Membangun tali silaturahmi sebenarnya bukan hal yang sulit, akan tetapi memang sering terlupakan. Apalagi di zaman sekarang teknologi sudah semakin canggih, tentu membangun silaturahmi tak harus dilakukan dengan berkunjung saja. Silaturahmi bisa dilakukan dengan sekedar berkomunikasi melalui telepon, media sosial (Facebook, Twitter), maupun dengan mengirimkan e-mail (elektronic mail). Hanya saja, egoisme dan kesombongan diri acap menjadi penghalang dilakukannya hal sepele tersebut. Dalam pilpres lalu misalnya, persaingan pasangan nomor urut 1 yakni, Prabowo Subianto- Hatta Radjasa dan pasangan nomor urut 2, Joko Widodo- Jusuf Kalla terlihat sangat panas. Imbasnya, potensi perpecahan dan kerusuhan menjelang penetapan rekapitulasi suara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada 22 Juli lalu sempat menyeruak kepermukaan. Padahal, kondisi itu tak akan terjadi apabila antar kandidat dan tim suksesnya masing-masing tetap melakukan dan menjaga esensi silaturahmi dengan baik. Masyakarat pun tak akan dibuat cemas dengan munculnya isu kerusuhan dan penggerakkan massa menjelang penetapan hasil rekapitulasi pilpres tersebut.
Harus Bisa Diserap
Nilai-nilai positif yang terkandung dalam spirit Idul Fitri, semisal spirit evaluasi diri, introspeksi diri dan spirit menjalin tali silaturahmi mutlak harus bisa diserap oleh umat Islam pasca perayaan Idul Fitri ini. Surat Al Hujarat ayat 10 menuliskan, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka ciptakanlah kerukunan, jalinlah rasa persaudaraan di antara kalian, dan bertakwalah kepada Allah, niscaya kamu akan mendapatkan limpahan rahmat- Nya”. Ayat tersebut secara jelas mengajarkan seluruh umat Islam untuk tetap menjaga persaudaraan dan kerukunan, maka membumikan spirit Idul Fitri adalah menjadi harga mati untuk dilakukan. Spirit introspeksi diperlukan untuk mengingatkan diri sendiri apabila melakukan tindakan yang diluar batas kewajaran sehingga menimbulkan kekecewaan bagi orang lain.
Spirit evaluasi diperlukan untuk membawa perubahan dan peningkatan (progress) ke arah yang lebih baik. Sementara, spirit menjalin silaturahmi diperlukan untuk merawat peningkatan yang telah dicapai dari hasil introspeksi dan evaluasi diri yang terus menerus dilakukan. Dalam konteks kekinian, membumikan spirit Idul Fitri menjadi penting untuk menurunkan tensi politik yang sempat memanas pasca diumumkannya rekapitulasi suara nasional pilpres 2014 oleh KPU, baik antar kandidat, tim sukses, maupun pendukung di akar rumput. Para elit politik, utamanya kandidat yang bersaing dalam pilpres harus bisa memberikan teladan bagaimana membumikan spirit Idul Fitri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Spirit tersebut harus mampu diperlihatkan ke publik dalam bentuk rekonsiliasi politik nasional yang murni, tanpa embel-embel kepentingan apapun, baik dari kubu Prabowo Subianto- Hatta Radjasa maupun kubu Joko Widodo- Jusuf Kalla. Sudah saatnya kita merayakan Idul Fitri dengan semangat kebersamaan dan kepedulian membangun negeri. Dengan begitu, percepatan rekonstruksi kultural dan struktural kemasyarakatan akan bisa berjalan dengan baik. Wallahu’alam! 

Dimuat dalam Opini Serambi Indonesia edisi 4 Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar