![]() |
(dok. jurnas.com) |
Rencana
menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang digagas Pemerintahan
Joko Widodo- Jusuf Kalla (Jokowi- JK) saat ini tentu menjadi sebuah paradoks
bagi masyarakat. Dari perspektif harga minyak dunia, harganya cenderung stabil
dan malah sedang mengalami tren penurunan harga. Sementara, dari perspektif
nilai tukar rupiah atas dollar AS juga tidak mengalami pergolakan yang
signifikan. Satu-satunya persoalan BBM saat ini hanyalah terkait kuota konsumsi
BBM yang pada tahun ini terancam jebol. Berdasarkan kalkulasi Direktur
Pemasaran dan Niaga PT Pertamina Hanung Budya, kuota konsumsi BBM bersubsidi
tahun ini berpotensi jebol hingga 1,9 juta kiloliter (KL). Sehingga, langkah
menaikkan harga BBM bisa dikatakan merupakan langkah tepat untuk menekan
konsumsi BBM dan menjaga APBN tetap sehat. Hanya saja, logika seperti itu tentu
tidak akan mudah diterima oleh legislatif dan masyarakat. Itulah sebabnya,
Jokowi- JK perlu membangun komunikasi yang lugas, jelas, dan terbuka terkait
esensi gagasannya menaikkan harga BBM bersubsidi.
Wakil Presiden
Jusuf Kalla secara gamblang telah megungkapkan bahwa Pemerintah berencana
mengalihkan subsidi ke sektor-sektor yang lebih produktif. Artinya, upaya
menaikkan harga BBM bersubsidi mendatang tidak serta merta ditempuh hanya untuk
menyelamatkan postur APBN saja, tetapi urgensinya lebih mengarah pada
pengalihan subsidi ke sektor yang lebih produktif bagi masyarakat. Secara
logika, peningkatan kesejahteraan rakyat melalui mekanisme seperti itu tentu
akan lebih cepat tercapai dari pada sekedar mengalokasikan anggaran untuk mensubsidi
BBM. Karena itu, gagasan Pemerintahan Jokowi- JK untuk menaikkan harga BBM
bersubsidi juga harus diimbangi dengan implementasi kebijakan- kebijakan lain yang
sejalan untuk membangun kepercayaan publik. Jika tidak, BBM bersubsidi hanya
akan terus menjadi komoditas politik saja dan selama itu pula isu mengenai
bahan bakar akan selalu menjadi isu panas bagi publik (FX Sugiyanto, 2014).
Pemicu
Persoalan BBM
Kegagalan dalam melakukan konversi
kebijakan energi, utamanya dari BBM ke BBG (Bahan Bakar Gas) atau energi
alternatif, menjadi salah satu pemicu persoalan BBM bersubsidi tak kunjung
usai. Di samping itu, pesatnya perkembangan pasar industri otomotif nasional menjadi
faktor dominan yang menyebabkan persoalan BBM bersubsidi menjadi semakin
semrawut. Maka, persoalan BBM bersubsidi ini jelas tidak akan selesai jika
pemerintah hanya mengimplementasikan kebijakan di sisi hulunya saja, yaitu
dengan menaikkan harga BBM. Itulah sebabnya, jika Pemerintahan Jokowi- JK
benar-benar berkomitmen ingin mengakhiri persoalan BBM bersubsidi ini maka
diperlukan sinergisitas kebijakan, baik dari sisi hilir maupun sisi hulu.
Selain itu, realisasi pengalihan alokasi
subsidi ke sektor-sektor produktif sebagaimana yang dimaksud pemerintah juga
harus jelas. Karenanya, perlu dibuat skenario pengalihan subsidi dari BBM ke
sektor-sektor produktif secara gamblang dan juga mudah dipahami rakyat biasa. Misalnya,
alokasi subsidi BBM sepanjang tahun 2015 akan dipotong sebesar Rp 135 trilun
dan dialihkan ke sektor pendidikan. Maka, biaya pendidikan untuk rakyat miskin
hingga tamat jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) atau bahkan hingga tamat
jenjang Strata 1 (S 1) akan digratiskan. Konsekuensinya, tentu saja harga BBM
bersubsidi harus dinaikkan. Dengan skenario tersebut, publik akan lebih mudah
memahami bahwa upaya menaikkan harga BBM tidak serta merta hanya untuk
kepentingan APBN, tetapi juga untuk mempercepat realisasi peningkatan kesejahteraan
rakyat, utamanya rakyat miskin dan hampir miskin (near poor) melalui sektor pendidikan.
Mengakhiri
Polemik
Esensi pengalihan subsidi BBM ke
sektor-sektor produktif agar percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat
tercapai, harus ditegaskan juga sebagai upaya untuk mengakhiri polemik BBM
bersubsidi. Karenanya, Pemerintahan Jokowi- JK perlu melakukan langkah-langkah
strategis sehingga esensi pengalihan subsidi ke sektor produktif tercapai dan
polemik BBM bersubsidi juga bisa terselesaikan. Pertama, langkah menaikkan harga BBM bersubsidi harus dibarengi
dengan revitalisasi distribusi BBM bersubsidi. Selama ini, BBM bersubsidi
didistribusikan secara terbuka. Akibatnya, nilai dan makna subsidi menjadi
kabur karena setiap orang, baik yang kaya raya, kaya, sederhana, maupun miskin
sama-sama bisa mendapatkan manfaat subsidi. Padahal, merujuk pasal 33 UUD 1945,
subsidi seharusnya diberikan untuk golongan tidak mampu saja. Itulah sebabnya,
mekanisme distribusi BBM terbuka yang selama ini digunakan harus dirubah ke
mekanisme distribusi BBM tertutup.
Kedua,
membatasi ruang gerak pasar kendaraan pribadi dan memberikan ruang gerak lebih
luas untuk kendaraan transportasi umum. Jika dicermati, berbagai merk kendaraan
pribadi, baik mobil maupun motor yang memenuhi jalanan di negeri ini ialah
berasal dari produk-produk asing. Artinya, bisa dipastikan keuntungan yang
didapat pemerintah dari menjamurnya pasar industri otomotif kendaraan-kendaraan
merk asing tidaklah sepadan dengan dampak kerugian yang ditimbulkan. Salah
satunya, selalu membengkaknya kuota konsumsi BBM yang kemudian memaksa
pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi BBM lebih besar. Ketiga, mempelopori dan menyiapkan
infrastruktur guna konversi BBM ke BBG. Masyarakat saat ini cenderung masih
ragu untuk mendukung program pemerintah beralih ke BBG. Itulah sebabnya,
Pemerintahan Jokowi- JK mesti memberikan teladan kepada masyarakat untuk
beralih ke BBG. Misalnya, dengan mewajibkan semua kendaraan milik pemerintah,
baik di kementerian maupun di instansi-instansi daerah untuk beralih menggunakan
BBG. Apabila langkah-langkah strategis itu dipetakan secara serius, bukan
mustahil BBM bersubsidi yang telah lama menjadi polemik di masyarakat bisa
terselesaikan dan langkah pengalihan subsidi ke sektor produktif juga bisa berjalan lancar. Semoga!.
Dimuat dalam opini Harian Waspada edisi 19 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar