![]() |
(do. ib.ayobai.org) |
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah
(pilkada) secara langsung yang diawali tahun 2005, besar kemungkinan tidak akan
digunakan lagi dalam penyelenggaraan pilkada mendatang. Pasalnya, pascapilpres
2014 terjadi perubahan konstelasi sikap politik antar fraksi-fraksi di DPR
terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada tersebut. Mayoritas
fraksi yang sebelum pilpres 2014 dilakukan dalam RUU Pilkada menyepakati
penyelenggaraan pilkada secara langsung, kini berbalik arah dengan menginginkan
penyelenggaraan pilkada secara tidak langsung (baca: dipilih DPRD). Fraksi-fraksi
tersebut ialah fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) dan
menguasai 65 persen kursi DPR, yaitu Gerindra, Golkar, PPP, PAN, dan Demokrat. Maka,
aroma hitung-hitungan politik untuk menguasai kekuasaan politik di daerah pasca
kekalahan di pilpres menjadi amat terasa.
Di samping itu, menarik dicermati juga
argumen yang dibangun oleh fraksi-fraksi KMP untuk mengembalikan pilkada ke
tangan DPRD tersebut. Yakni, pemborosan anggaran daerah, menyuburkan politik
transaksional, dan berpotensi besar memicu konflik horisontal. Selain itu, bagi
pasangan calon kepala daerah ongkos politik yang harus disediakan sangat tinggi
(high cost democracy), yakni berkisar
antara Rp 20 miliar hingga Rp 128 miliar. Harus diakui, penyelenggaraan pilkada
secara langsung memang masih jauh dari sempurna. Namun demikian, relevansi
spirit memajukan demokrasi menjadi kabur maknanya apabila solusi yang diambil ialah
dengan mengubah sistemnya. Sebab, untuk memajukan demokrasi nasional diperlukan
konsistensi dan perbaikan konsolidasi politik secara berkelanjutan. Maka,
solusi yang paling relevan saat ini sebagai upaya membangun dan memajukan
demokrasi nasional bukanlah mengubah sistem, melainkan memperbaiki mekanismenya
yang sudah ada.
Merevitalisasi
Sistem
Kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam sistem
pilkada langsung, bukanlah hal yang tidak dapat diatasi. Hanya saja, diperlukan
political will dan political action yang konsisten dari
pemerintah maupun dari fraksi-fraksi di DPR untuk merevitalisasi sistem pilkada
langsung tersebut. Terkait pemborosan anggaran daerah misalnya, efisiensi anggaran
penyelenggaraan bisa ditekan dengan menyelenggarakan pilkada secara serentak. Jadi,
pemilu DPRD provinsi, DPRD kabupaten/ kota dilakukan berbarengan dengan pilkada
gubernur dan wali kota. Selain itu, bisa juga dengan merealisasikan pemilu
elektronik. Maka, setiap daerah tidak perlu lagi mengeluarkan anggaran untuk keperluan
pengadaan logistik pemilu, transportasi logistik pemilu, hingga biaya tenaga
penyelenggara. Apabila dua hal tersebut diaplikasikan, maka argumen tingginya
biaya penyelenggaraan pilkada langsung jelas bisa diatasi.
Sementara terkait argumen pilkada
langsung menyuburkan politik transaksional, hal itu juga tidak sepenuhnya
benar. Sebab, masifnya politik transaksional sebenarnya juga dipengaruhi oleh
mental rente para calon kepala daerah sendiri. Jamak diketahui bahwa inisiatif
memberikan uang atau barang kepada rakyat agar memilih calon tertentu adalah
atas inisiatif calon kepala daerah atau tim suksesnya, bukan karena rakyat yang
meminta-minta. Namun demikian, hal itu juga dapat dikontrol melalui pembatasan
dana kampanye. Dengan dana kampanye yang terbatas hanya untuk sosialisasi politik
saja, maka potensi munculnya praktik politik transaksional di masyarakat akan sangta
kecil. Upaya lain bisa ditempuh dengan menggencarkan sosialisasi dan kampanye
anti politik uang kepada masyarakat. Dengan begitu, celah-celah untuk
terjadinya praktik politik transaksional di masyarakat akan sangat kecil.
Dapat
Diatasi
Argumen-argumen lain, seperti besarnya
potensi konflik horisontal maupun ongkos politik tinggi juga bukanlah hal yang
tak dapat diatasi. Pengalaman pilpres 2014, telah membuktikan bahwa kemampuan
aparat keamanan untuk memetakan dan mengantisipasi potensi konflik sudah
teruji. Tentu tidak akan ada yang menolak bila dikatakan potensi konflik
pascapengumuman hasil pilpres oleh KPU dan pengumuman sengketa hasil pilpres
oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sangatlah besar. Faktanya, aparat keamanan mampu
membuat kondisi politik nasional tetap kondusif, meskipun sempat terjadi
riak-riak kecil beberapa saat. Di samping itu, rakyat Indonesia juga sudah
semakin dewasa dalam menyikapi setiap penyelenggaraan ritual elektoral, baik
dalam tataran nasional maupun tataran daerah. Dalam konteks ini, elit politik
maupun calon yang diusung malahan yang acap bersikap kekanak-kanakan tidak bisa
menerima hasil demokrasi. Maka, diperlukan juga ancaman pidana bagi elit
politik dan calon kepala daerah yang terbukti memprovokasi massa untuk berbuat
anarkis.
Terkait tingginya ongkos politik (high cost politic) dalam pilkada
langsung, persoalan tersebut bisa dipetakan bahwa akar masalah ialah dari
parpol sendiri, bukan dari sistem penyelenggaraannya. Parpol acap mengharuskan
figur calon kepala daerah memberikan “mahar” yang besar. Bahkan, terkadang
calon kepala daerah harus meminta bantuan pendanaan dari luar untuk memenuhi
“mahar” bagi parpol tersebut. Itulah sebabnya, meminjam istilah Joko Widodo,
parpol di negara ini perlu direvolusi mental. Akhirnya, proses penyelenggaraan
pilkada langsung semestinya harus dilihat dari berbagai sisi, tidak hanya sekedar
membesar-besarkan dampak negatifnya saja. Namun, perlu juga dilihat dampak yang
dihasilkan dari penyelenggaraan pilkada langsung ini. Yaitu, munculnya
pemimpin-pemimpin daerah berkualitas yang disukai oleh rakyat, sebut saja seperti
Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya), Ridwan Kamil (Walikota Bandung), dan
Basuki Tjahaja Purnama (Wagub DKI Jakarta). Maka, DPR berpihaklah kalian pada
suara rakyat, pertahankan pilkada langsung.
Menolak
Pengesahan
Pengalaman pilkada tidak langsung di era
Orde Baru, sekiranya bisa menjadi pelajaran berharga untuk proses demokrasi
nasional. Masyarakat jelas tidak mau lagi dibodohi dengan persekongkolan
transaksional antara eksekutif dan legislatif seperti yang lazim ditemukan di
era Orde Baru. Maka, merujuk Linz dan Stephan (1996) konsolidasi politik secara
stimultan harus dilakukan dan menyentuh lima ranah arena agar demokrasi tidak
berbalik arah (mengalami kemunduran). Pertama,
masyarakat politik yang relatif mandiri dan bermakna. Kedua, tumbuhnya kehidupan masyarakat sipil yang bebas, mandiri,
dan semarak. Ketiga, birokrasi negara
yang bisa dipakai (usable) oleh
pemerintahan demokratis yang baru. Keempat,
hadirnya rule of law yang memberikan
jaminan legal bagi kebebasan warga negara dan tumbuhnya kehidupan asosiasional
independen. Dan kelima, institusionalisasi
masyarakat ekonomi.
Akhirnya, penting bagi masyarakat saat
ini untuk fokus mengawal proses pembahasan RUU Pilkada sampai selesai. Dengan
begitu, potensi terjadinya kemunduran (set
back) demokrasi bisa diantisipasi lebih dini. Di sisi lain, boleh saja
fraksi-fraksi KMP merasa percaya diri karena menguasai 65 persen kursi di DPR,
sehingga akan mudah meloloskan klausa penyelenggaraan pilkada tidak langsung.
Namun demikian, rakyat tidak boleh diam saja. Rakyat harus menyatukan suara
agar ancaman kemunduran demokrasi tersebut tidak benar-benar akan terjadi. James
Clarke, intelektual Amerika abad ke 19 pernah mengatakan, “Seorang politisi
berfikir tentang pemilihan ketika negarawan berpikir tentang generasi masa
depan”. Oleh sebab itu, sudah saatnya elit politik dan wakil rakyat di negara
ini mulai memikirkan generasi masa depan bangsa, tak hanya selalu berdebat
tentang regulasi belaka. Semoga!
Dimuat dalam Opini Serambi Indonesia edisi 18 September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar