Memelihara dan Merawat Spirit Antikorupsi



 
(Dok. Bali Post 5-8-2014)
Suasana perayaan hari raya Idul Fitri 1435 H kali ini berlangsung khidmat dan meriah. Salah satunya karena proses penetapan tanggal 1 Syawal oleh Kementerian Agama berjalan lancar. Sehingga, umat Islam di Tanah Air dapat merayakan Idul Fitri secara bersamaan. Idul Fitri tentunya bukan sekedar perayaan dan ajang berkumpul keluarga besar. Lebih dari itu, Idul Fitri sesungguhnya mempunyai makna mendalam yang patut diteladani. Ditinjau dari sisi etimologis, Idul Fitri mempunyai makna bahwa umat Islam telah kembali bersih dari dosa-dosa yang diperbuat.  Ini berarti, seluruh manusia utamanya umat Islam yang telah sampai pada fitrahnya (kesucian), harus senantiasa meninggalkan perbuatan-perbuatan yang mendekatkan diri pada dosa, semisal iri, dengki, dan tindakan maksiat lainnya.
Sementara itu, ditinjau dari sisi terminologi Idul Fitri secara sederhana dapat dimaknai sebagai hari raya yang datang berulang kali setiap tanggal 1 Syawal sebagai pertanda bahwa puasa telah selesai. Tak heran, bila kemudian Idul Fitri acap dirayakan dengan menyediakan makanan dan hidangan yang lebih mewah dari pada hari-hari biasa. Sebagai wujud suka cita hal tersebut tentu sah-sah saja. Dalam Al Qur’an pun diriwayatkan, ketika para pengikut Nabi Isa tersesat, mereka pernah berniat mengadakan ‘Id (hari raya atau pesta) dan meminta kepada Nabi Isa agar Allah SWT menurunkan hidangan mewah dari langit. Dan ternyata, Allah SWT mengabulkan permintaan mereka lalu menurunkan makanan (QS. Al Maidah 112-115). Celakanya, kedua pemaknaan di atas acap menjadi pemaknaan kosong belaka tanpa benar-benar bisa meresap ke dalam hati sanubari setiap pemeluk Islam. Tak heran bila pasca Idul Fitri, berbagai perbuatan maksiat yang lazim terjadi di negara ini kembali marak terjadi, misalnya korupsi, kolusi, pemerasan, dan fitnah.
Melahirkan Figur Berintegritas
Dalam konteks saat ini, selain diharapkan bisa membawa kesejukan terjadinya rekonsiliasi politik nasional pasca Pemilu Presiden (Pilpres) 2014, Idul Fitri tentunya diharapkan mampu melahirkan figur-figur yang berintegritas atau yang dalam bahasa Al Qur’an disebut sebagai manusia yang memiliki “karakter takwa”. Q.S Al Baqarah ayat 183 menyebutkan bahwa, “Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa”. Ini berarti, ibadah yang dilakukan pada bulan Ramadan, mulai dari ibadah puasa hingga salat tarawih akan mampu menciptakan figur yang bertakwa (berintegritas) seperti yang saat ini sedang dibutuhkan negeri ini. Puasa yang dilakukan dengan sungguh-sungguh akan merangsang kepekaan sosialnya. Sementara, ibadah yang lain seperti salat tarawih, dzikir dan salat sunat lainnya akan membuka hati nurani dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Maka, dengan lahirnya figur-figur berintegritas harapan mampu diberantas habisnya tindakan-tindakan yang merugikan rakyat, utamanya tindakan korupsi yang dilakukan oleh para abdi negara bisa menguat kembali.
Selama ini, rakyat sudah hampir putus asa melihat kerja keras Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang hingga mati-matian akan tetapi korupsi tetap saja masih menggurita. Ibarat kata, mati satu namun tumbuh seribu. Buktinya, indeks persepsi korupsi (IPK) negara ini dalam dua tahun terakhir pada 2012-2013 tetap stagnan, yakni pada angka 32 dari skala 0 sampai 100. Ini artinya, target pemerintah untuk meraih skor IPK 50 diakhir tahun 2014 juga terancam mengalami kegagalan. Dalam dokumen Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK), pemerintah telah mengadopsi IPK sebagai tolak ukur untuk pencapaian pencegahan dan pemberantasan korupsi. Dengan kata lain, hingga pertengahan tahun ini pemerintah terbukti telah gagal dalam mencegah dan memberantas korupsi. Oleh sebab itu, momentum Idul Fitri kali ini harus benar-benar bisa dimanfaatkan pemerintah untuk menempatkan figur-figur berintegritas yang terlahir dari tempaan bulan Ramadan pada tempat yang semestinya.
Merawat Momentum
Sebagaimana pepatah orang bijak, merebut sesuatu barangkali lebih mudah dari pada mempertahankannya. Hal itulah yang perlu dipikirkan secara mendalam terkait dengan berlalunya ibadah Ramadan dan hari raya Idul Fitri 1435 H kali ini. Bukan tidak mungkin godaan untuk melakukan perbuatan maksiat kembali membayangi. Terlebih lagi, tuntutan zaman untuk hidup berkecukupan dan bermewah-mewahan semakin tinggi. Maka, praktik-praktik tindakan korup bakal kembali menjadi ancaman utama bagi kelangsungan kehidupan negara dengan mayoritas penduduk pemeluk Islam ini. Secara logika, memang tak masuk akal negara dengan mayoritas muslim akan tetapi tindakan korupsinya begitu masif. Tetapi, inilah realita kehidupan berbangsa di negara ini. Oleh sebab itu, spirit antikorupsi yang terlahir dari tempaan bulan Ramadan dan hari raya Idul Fitri sebagai puncaknya ini, harus terus dirawat. Dengan spirit antikorupsi yang terus menerus terpelihara, maka peluang membasmi figur dan perilaku korup tentunya akan lebih mudah.
Korupsi di negara ini secara kentara telah melewati batas nalar kemanusiaan (hyper corruptus). Maka sangat wajar bila pasca Idul Fitri, pencegahan dan pemberantasan pada tindakan korupsi semakin digiatkan. Hanya saja, beban untuk melakukan hal tersebut tak seharusnya hanya diserahkan pada aparat penegak hukum, utamanya KPK. Seluruh masyarakat tentu juga harus ikut bertanggung jawab atas upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Paling tidak, masyarakat harus bisa ikut merawat dan membangun spirit anti korupsi yang muncul dari tempaan ibadah Ramadan dan Idul Fitri. Seyogianya, spirit antikorupsi yang telah terbangun dari momentum Idul Fitri kali ini tak mudah luntur kembali. Dengan begitu, secara tak langsung umat Islam akan dapat membuktikan kontribusinya dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di negara ini. Semoga!

Dimuat dalam Opini Bali Post edisi 5 Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar