Suasana perayaan
hari raya Idul Fitri 1435 H kali ini berlangsung khidmat dan meriah. Salah
satunya karena proses penetapan tanggal 1 Syawal oleh Kementerian Agama
berjalan lancar. Sehingga, umat Islam di Tanah Air dapat merayakan Idul Fitri
secara bersamaan. Idul Fitri tentunya bukan sekedar perayaan dan ajang
berkumpul keluarga besar. Lebih dari itu, Idul Fitri sesungguhnya mempunyai
makna mendalam yang patut diteladani. Ditinjau dari sisi etimologis, Idul Fitri
mempunyai makna bahwa umat Islam telah kembali bersih dari dosa-dosa yang
diperbuat. Ini berarti, seluruh manusia
utamanya umat Islam yang telah sampai pada fitrahnya (kesucian), harus
senantiasa meninggalkan perbuatan-perbuatan yang mendekatkan diri pada dosa,
semisal iri, dengki, dan tindakan maksiat lainnya.
Sementara itu,
ditinjau dari sisi terminologi Idul Fitri secara sederhana dapat dimaknai
sebagai hari raya yang datang berulang kali setiap tanggal 1 Syawal sebagai
pertanda bahwa puasa telah selesai. Tak heran, bila kemudian Idul Fitri acap
dirayakan dengan menyediakan makanan dan hidangan yang lebih mewah dari pada
hari-hari biasa. Sebagai wujud suka cita hal tersebut tentu sah-sah saja. Dalam
Al Qur’an pun diriwayatkan, ketika para pengikut Nabi Isa tersesat, mereka
pernah berniat mengadakan ‘Id (hari raya atau pesta) dan meminta kepada Nabi
Isa agar Allah SWT menurunkan hidangan mewah dari langit. Dan ternyata, Allah
SWT mengabulkan permintaan mereka lalu menurunkan makanan (QS. Al Maidah 112-115).
Celakanya, kedua pemaknaan di atas acap menjadi pemaknaan kosong belaka tanpa
benar-benar bisa meresap ke dalam hati sanubari setiap pemeluk Islam. Tak heran
bila pasca Idul Fitri, berbagai perbuatan maksiat yang lazim terjadi di negara ini
kembali marak terjadi, misalnya korupsi, kolusi, pemerasan, dan fitnah.
Melahirkan
Figur Berintegritas
Dalam konteks
saat ini, selain diharapkan bisa membawa kesejukan terjadinya rekonsiliasi
politik nasional pasca Pemilu Presiden (Pilpres) 2014, Idul Fitri tentunya diharapkan
mampu melahirkan figur-figur yang berintegritas atau yang dalam bahasa Al
Qur’an disebut sebagai manusia yang memiliki “karakter takwa”. Q.S Al Baqarah
ayat 183 menyebutkan bahwa, “Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa”. Ini
berarti, ibadah yang dilakukan pada bulan Ramadan, mulai dari ibadah puasa
hingga salat tarawih akan mampu menciptakan figur yang bertakwa (berintegritas)
seperti yang saat ini sedang dibutuhkan negeri ini. Puasa yang dilakukan dengan
sungguh-sungguh akan merangsang kepekaan sosialnya. Sementara, ibadah yang lain
seperti salat tarawih, dzikir dan salat sunat lainnya akan membuka hati nurani
dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Maka, dengan lahirnya figur-figur
berintegritas harapan mampu diberantas habisnya tindakan-tindakan yang
merugikan rakyat, utamanya tindakan korupsi yang dilakukan oleh para abdi
negara bisa menguat kembali.
Selama ini,
rakyat sudah hampir putus asa melihat kerja keras Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) yang hingga mati-matian akan tetapi korupsi tetap saja masih menggurita.
Ibarat kata, mati satu namun tumbuh seribu. Buktinya, indeks persepsi korupsi (IPK)
negara ini dalam dua tahun terakhir pada 2012-2013 tetap stagnan, yakni pada
angka 32 dari skala 0 sampai 100. Ini artinya, target pemerintah untuk meraih
skor IPK 50 diakhir tahun 2014 juga terancam mengalami kegagalan. Dalam dokumen
Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK), pemerintah telah
mengadopsi IPK sebagai tolak ukur untuk pencapaian pencegahan dan pemberantasan
korupsi. Dengan kata lain, hingga pertengahan tahun ini pemerintah terbukti
telah gagal dalam mencegah dan memberantas korupsi. Oleh sebab itu, momentum
Idul Fitri kali ini harus benar-benar bisa dimanfaatkan pemerintah untuk
menempatkan figur-figur berintegritas yang terlahir dari tempaan bulan Ramadan
pada tempat yang semestinya.
Merawat
Momentum
Sebagaimana
pepatah orang bijak, merebut sesuatu barangkali lebih mudah dari pada mempertahankannya.
Hal itulah yang perlu dipikirkan secara mendalam terkait dengan berlalunya
ibadah Ramadan dan hari raya Idul Fitri 1435 H kali ini. Bukan tidak mungkin
godaan untuk melakukan perbuatan maksiat kembali membayangi. Terlebih lagi,
tuntutan zaman untuk hidup berkecukupan dan bermewah-mewahan semakin tinggi.
Maka, praktik-praktik tindakan korup bakal kembali menjadi ancaman utama bagi kelangsungan
kehidupan negara dengan mayoritas penduduk pemeluk Islam ini. Secara logika,
memang tak masuk akal negara dengan mayoritas muslim akan tetapi tindakan
korupsinya begitu masif. Tetapi, inilah realita kehidupan berbangsa di negara
ini. Oleh sebab itu, spirit antikorupsi yang terlahir dari tempaan bulan
Ramadan dan hari raya Idul Fitri sebagai puncaknya ini, harus terus dirawat.
Dengan spirit antikorupsi yang terus menerus terpelihara, maka peluang membasmi
figur dan perilaku korup tentunya akan lebih mudah.
Korupsi di
negara ini secara kentara telah melewati batas nalar kemanusiaan (hyper corruptus). Maka sangat wajar bila
pasca Idul Fitri, pencegahan dan pemberantasan pada tindakan korupsi semakin
digiatkan. Hanya saja, beban untuk melakukan hal tersebut tak seharusnya hanya
diserahkan pada aparat penegak hukum, utamanya KPK. Seluruh masyarakat tentu
juga harus ikut bertanggung jawab atas upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan
korupsi. Paling tidak, masyarakat harus bisa ikut merawat dan membangun spirit
anti korupsi yang muncul dari tempaan ibadah Ramadan dan Idul Fitri.
Seyogianya, spirit antikorupsi yang telah terbangun dari momentum Idul Fitri
kali ini tak mudah luntur kembali. Dengan begitu, secara tak langsung umat
Islam akan dapat membuktikan kontribusinya dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan korupsi di negara ini. Semoga!
Dimuat dalam Opini Bali Post edisi 5 Agustus 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar