![]() |
(Doc. Sinarharapan.co) |
Saat ini, miliaran pasang mata
sedang diarahkan pada pesta olahraga terakbar sejagad raya, yakni Piala Dunia (World Cup). Piala dunia kali ini diselenggarakan
di Brasil dan merupakan Piala Dunia ke 20 dari seluruh rangkaian Piala Dunia
yang pernah di gelar. Dalam sejarahnya, banyak yang belum tahu bahwa negara
kita tercinta ini juga pernah sekali ikut berpartisipasi dalam putaran final
Piala Dunia, yaitu pada Piala Dunia ketiga di Prancis tahun 1938. Kala itu,
Indonesia belum menjadi negara yang merdeka, sehingga keikutsertaannya juga
tidak menggunakan nama Indonesia melainkan menggunakan nama Dutch East Indies (Hindia Belanda). Para
pemainnya terdiri dari gabungan warga Indonesia, Tiongkok, dan Belanda. Mereka
diantaranya adalah Achmad Nawir, Mo Heng, Anwar Soetan, Henk Zomers, Hong
Djien, dan G Van Den Burg. Pada pertandingan pertamanya, tim ini dilibas oleh
kesebelasan Hungaria 6 gol tanpa balas. Sementara, tuan rumah Perancis
disingkirkan Italia di perempat final dengan skor 1-3. Gli Azzurri (julukan timnas Italia) akhirnya terus melaju dan
menundukkan Hungaria di final dengan skor 4-2, hingga kemudian menjadi juara
Piala Dunia untuk pertama kalinya.
Pendingin
Suhu Politik
Bagi Indonesia sendiri, pergelaran
Piala Dunia kali ini bisa dikatakan menjadi blessing
in disguise di tengah panasnya masa kampanye Pemilu Presiden (Pilpres).
Piala Dunia ibarat “kompres” yang menjadi mesin pendingin dan peredam suhu
politik nasional yang semakin memanas. Namun terlepas dari itu semua, Piala
Dunia sejatinya juga dapat dimaknai sebagai tempat untuk menanamkan, memupuk,
dan menumbuh kembangkan spirit multikulturalisme dunia. Di sana berkumpul para
pesepak bola serta para suporternya dengan berbagai warna kulit, agama, ras,
dan golongan yang berbeda-beda. Namun perbedaan tersebut tidak menjadikan
perpecahan, melainkan menciptakan keindahan dari keberagaman yang ada. Dengan
kata lain, Piala Dunia mampu menjadi wadah yang sangat efektif untuk
menciptakan pembauran antar warga (melting
pot) dari berbagai belahan dunia. Pada
hakekatnya Piala Dunia bisa dikatakan sebagai sebuah wadah puncak dari pesta
sepak bola sejagad, sementara Pilpres adalah wadah dari puncak pesta demokrasi
nasional. Maka timbulah pertanyaan menggelitik di hati penulis, jika Piala
Dunia mampu menjadi melting pot yang
efektif untuk warga dari berbagai belahan dunia, apakah kemudian Pilpres juga
bisa menjadi melting pot bagi
keragaman di Tanah Air?. Di negara ini pembauran memang telah lama terjadi,
hanya saja pembauran tersebut sering kali tanpa disertai dengan spirit
multikulturalisme. Menyitir Kymlika, multikulturalisme dapat diartikan sebagai
pengakuan terhadap pluralitas budaya yang menumbuhkan kepedulian untuk
mengupayakan agar kelompok minoritas terintegrasi dalam masyarakat dan kelompok
mayoritas mau mengakomodasi perbedaan kelompok minoritas agar kekhasan
identitas mereka tetap diakui (1989). Dengan kata lain, tujuan dari
multikulturalisme itu sendiri adalah untuk menciptakan dan menjamin
ketersediaan eksistensi ruang publik (public
sphere) bagi semua golongan, baik golongan minoritas maupun golongan
mayoritas. Sehingga, memungkinkan beragam golongan untuk tumbuh dan berkembang
sesuai dengan kekhasan yang dimiliki masing-masing.
Isu
yang Terlupakan
Menyongsong Pilpres 9 Juli
mendatang spirit multikulturalisme seakan malah menjadi isu yang terlupakan.
Buktinya, masa-masa kampanye Pilpres saat ini malah dipenuhi dengan beragam
propaganda hitam yang kental menimbulkan potensi perpecahan. Propaganda hitam
tersebut secara masif muncul di dunia cyber melalui Blog, Facebook, dan
Twitter. Bahkan belakangan, propaganda hitam mulai dimunculkan melalui tabloid-tabloid
sesat, sebut saja seperti Tabloid Obor Rakyat yang saat ini menjadi kontroversi
di masyarakat. Menurut pakar komunikasi
politik Amerika Harold Lasswell (1977:48), propaganda tidak lain merupakan
diseminasi informasi secara sistematis dan tanpa henti guna mengubah pandangan,
sikap, dan emosi lawan supaya akhirnya berpihak kepada pihak penyampai
propaganda. Oleh sebab itu, jika yang digunakan merupakan propaganda hitam dengan
mem-blow up isu-isu berbau suku,
agama, ras, dan antargolongan (SARA), tentu akan sangat berbahaya bagi
kelangsungan semangat multikuluralisme yang telah terbangun. Maka, menjadi
keharusan bagi pasangan capres- cawapres yang bertarung di Pilpres 2014 untuk
membawa spirit multikulturalisme Piala Dunia di masa kampanye maupun ketika
debat capres- cawapres. Harus diakui,
keragaman di negara ini masih menjadi kerikil tajam yang menjadi batu sandungan
terciptanya persatuan dan kesatuan yang hakiki. Dalam konteks ini, menjadi
penting untuk menularkan spirit multikulturalisme Piala Dunia ke dalam
pergelaran Pilpres di dalam negeri. Hal ini penting dilakukan mengingat
pergelaran Pilpres kali ini sangatlah tidak sehat, minim pendidikan politik
tetapi kental dengan kecurangan dan propaganda hitam. Semangat
multikulturalisme Piala Dunia yang diusung melalui slogan resminya “All in One Rhythm” dan melalui lagu
resminya “We Are One”, adalah
pembelajaran berharga yang mutlak diserap oleh seluruh rakyat Indonesia. Tentu
akan menjadi kerugian yang besar bagi negara ini jika hanya terbius oleh
berbagai pertandingan big match Piala
Dunia, tetapi tidak bisa menyerap ilmu yang diberikan. Ilmu dari keberagaman
golongan, warna kulit, dan agama yang berjuang bersama-sama demi satu tujuan,
yakni memenangi Piala Dunia. Pada tataran ini, masyarakat Indonesia dengan
segala keberagamannya mutlak untuk menyerap spirit multikulturalisme Piala
Dunia melalui sikap-sikap positif yang ditawarkan, seperti menjunjung tinggi
sportivitas, rasa nasionalisme dan kerja sama yang baik. Dengan begitu, impian
mencapai kesejahteraan ekonomi, sosial dan politik bukan menjadi hal yang mustahil
untuk diwujudkan. Wallahu a’lam!
Dipublikasikan dalam Opini Inilah Koran edisi 21 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar