(Dok. ahok.org) |
“Tikus
pithi anoto baris” atau “tikus pithi menata barisan”, itulah ramalan ketujuh
dari seorang raja Kerajaan Kediri, yakni Raja Joyoboyo. Tikus merupakan perwujudan
binatang yang rakus, suka mencuri, dan kotor. Di era saat ini, tikus menjadi
simbolisasi bagi perilaku rakus dan koruptif yang notabene melekat pada para
koruptor. Maka jika ditelaah, “tikus pithi anoto baris” bisa mengandung arti
kelompok koruptor yang berbaris menanti jatah dan kesempatan. Ramalan itu saat
ini benar-benar telah menjadi kenyataan. Celakanya, tikus pithi yang berbaris
sebagaimana yang diungkapkan dalam ramalan Joyoboyo tersebut ternyata adalah
para pemimpin dan penyelenggara negara. Buktinya, berdasarkan data dari Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri) hingga kini telah tercatat 325 orang dari 524 kepala
daerah dan wakil kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Alih-alih menjadi
pembelajaran, banyaknya kasus yang menjerat para kepala daerah dan wakil kepala
daerah ternyata tidak mampu mencegah syahwat pemimpin-pemimpin lain untuk tidak
ikut melakukan tindakan serupa. Bagai tidak pernah ada kata jera, lagi-lagi dua
kepala daerah kembali menjadi tumbal operasi pemberantasan korupsi yang
dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di Bogor, bupati sekaligus salah
satu petinggi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Rachmat Yasin ditangkap KPK melalui
operasi tangkap tangan dengan barang bukti uang senilai Rp 1,5 miliar. Bersamaan
dengan penangkapan Rachmat Yasin, KPK juga menetapkan Walikota Makassar, Ilham
Arief Sirajuddin sebagai tersangka korupsi dengan sangkaan meraup dana ilegal
sebesar Rp 38,1 miliar dari proyek air bersih yang dikelola oleh Perusahaan Daerah
Air Minum (PDAM) Kota Makassar. Kenyataan pahit sekaligus memprihatinkan ini
semakin menegaskan betapa bangsa saat ini sedang mengalami defisit figur
pemimpin yang bersih. Jika pola rekruitmen politik untuk memunculkan calon
pemimpin tidak diubah, bukan tidak mungkin Indonesia menjadi “Filipina” kedua
di Asia.
Saluran Koruptif
Sejatinya,
kepala daerah maupun pemimpin-pemimpin negara disektor lain mempunyai tanggung
jawab besar untuk mendekatkan rakyat pada kesejahteraan. Apalagi mereka juga
telah disumpah saat pelantikan jabatan, sehingga mereka berkewajiban untuk
menjalankan sumpah jabatan tersebut sebaik mungkin. Dua kasus korupsi terakhir
yang menjerat kepala daerah di negara ini jelas berkontradiksi dengan sumpah
jabatan yang diucapkan. Visi dan misi yang ditawarkan sebelum memperoleh
jabatan, ditabrak demi memuaskan syahwat kekuasaan dan kekayaan. Ada tiga
kajian menarik terkait masifnya figur pemimpin negeri terjerumus ke dalam
tindak pidana korupsi. Pertama, watak
rakus dan tamak yang sudah menjadi bawaan. Sudah kodratnya manusia mempunyai
watak yang berbeda-beda, tentu tak semua manusia mempunyai watak ideal seperti
jujur, amanah, dan bertanggung jawab. Watak sebagian manusia lainnya adalah
antitesis dari watak-watak ideal yang dimiliki manusia. Maka tak ada jalan lain
untuk membonsai antitesis dari watak ideal tersebut kecuali dengan hukuman yang
tegas, keras, dan “kejam”. Kedua, implementasi
sistem desentralisasi yang tidak diimbangi dengan pengawasan mumpuni. Semenjak
sistem desentralisasi diterapkan, sejak itu pula banyak pemimpin-pemimpin
daerah yang menjadi pesakitan di meja hijau akibat terjerat kasus korupsi. Karena
itu, ekses-ekses desentralisasi yang berpotensi melahirkan korupsi maupun
pemerasan harus dicegah. Sistem pranata hukum harus dibenahi dengan menyusun
suatu grand design pembangunan yang
futuristik, bukan sekedar sistem dan kebijakan yang hanya memupuk kantong
pribadi pejabat negara dalam lima tahun berkuasa saja. Ketiga, kegagalan partai politik (parpol) melahirkan figur pemimpin
bersih. Parpol kini tak lagi sebagai alat untuk memperjuangkan ide atau
cita-cita politik. Keadaan tersebut akhirnya mempengaruhi tata-kelola partai
menjadi sangat oligarkis. Eksesnya, figur-figur politik calon pemimpin negeri
yang dihasilkan parpol menjadi tak berkualitas dan identik dengan kepribadian
yang amoral seperti egois, pembohong, dan tukang korupsi. Ketika figur-figur
parpol tersebut (dipaksakan) menjadi pemimpin, baik dalam skala daerah maupun
skala nasional, maka kesejahteraan masyarakat menjadi semakin jauh dari
kenyataan seperti saat ini.
Pemimpin Bersih
Pengamat
politik nasional dan esais ternama, Jakob Sumardjo dalam artikelnya “Zaman Emas
Indonesia” (Kompas, 2008) pernah mengungkapkan gagasan yang sangat luar biasa
terkait figur pemimpin negeri yang bersih. Dalam gambarannya, pemimpin tersebut
mampu membawa Indonesia ke zaman keemasan dengan cara yang “kejam”. Koruptor
yang diketahui menilep uang negara 1 miliar ke atas langsung dihukum mati.
Koruptor yang menilep uang negara di atas setengah miliar dipotong tangannya
dan dipenjara seumur hidup. Sementara, koruptor yang menilep uang negara
seratus juta ke bawah, dihukum penjara seumur hidup. Khusus perkara korupsi
tidak ada naik banding menurut hukum negara yang disetujui DPR. Seperti itulah
gambaran sikap pemimpin bersih menurut Jakob Sumardjo yang mungkin dimaknai
“kejam” oleh pemimpin-pemimpin korup di negara ini. Pemimpin bersih tak cukup
hanya dilihat dari rekam jejaknya saja, bersih dari cacat hukum maupun bersih
dari pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Akan tetapi, pemimpin
bersih ialah pemimpin yang berani menumpas perilaku maupun figur-figur yang
“mengotori” integritas bangsa. Oleh sebab itu, sekali lagi perilaku korup dan
para pelaku korupsi harus dijadikan sebagai musuh bersama. Dalam artian bahwa,
masyarakat harus aktif mendorong lahirnya pemimpin bersih seperti yang telah di
gagas dengan sangat luar biasa oleh Jakop Sumardjo. Pemimpin bersih dan berani
melakukan tindakan “kejam” demi memutus mata rantai korupsi, itulah pemimpin
yang harus kita coblos di Pilpres, 9 Juli 2014 nanti!.
Dimuat dalam Opini Serambi Indonesia edisi 31 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar