Polemik "Rekening Gendut" Kepala Daerah


(Dok. poskotanews.com)

Para netizen (pengguna internet), beberapa waktu lalu dihebohkan oleh postingan foto dan status seorang anak wakil bupati (Wabub) yang terkesan “pamer” kekayaan di akun Facebook-nya. Dalam postingan tersebut, sang anak wabub memajang foto-foto mobil mewah dan menuliskan status “Mobil di rumah ada 7 keren juga kalo senin crv, selasa mx5, rabu wrangler, kamis pajero, jum’at alphard, sabtu innova dan minggu camry”. Nahasnya, pascapostingan itu menyebar, Ibunda si empunya akun Facebook yang notabene merupakan Wabub Ponorogo, yaitu YW justru ditetapkan sebagai tersangka baru kasus korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK). Meskipun antara postingan “pamer” kekayaan anak wabup di Facebook dan penetapan Ibundanya sebagai tersangka korupsi barangkali tidak ada keterkaitan sama sekali, tetapi di balik itu semua  dapat ditarik satu benang merah, yakni penguasa politik di daerah (kepala daerah/ wakil kepala daerah) telah bermetamorfosa menjadi raja-raja kecil. Mereka tidak hanya mempunyai kekuasaan, tetapi juga harta kekayaan yang berlimpah bak para raja yang sebenarnya.
Sayangnya, kekayaan berlimpah yang mereka miliki acap berasal dari harta haram hasil melakukan korupsi. Faktanya, sebanyak 327  dari 524 kepala daerah yang terkena kasus hukum, 86 persen diantaranya ialah terjerat kasus korupsi. Kondisi ini membuktikan bahwa banyak kepala daerah sudah tidak menganggap lagi jabatan yang diembannya sebagai amanat dari rakyat. Orientasi yang terlihat justru jabatan publik yang diemban merupakan sebuah peluang dan kesempatan yang mungkin tidak akan datang untuk ke dua kalinya. Tak heran, banyak oknum kepala daerah yang kemudian tidak segan-segan memperkaya diri maupun keluarganya ketika aktif menjabat sebagai kepala daerah. Penerima Nobel Sastra (1962) John Steinbeck, jauh-jauh hari telah mengingatkan hal itu, kekuasaan tidak selalu korup, tetapi takut kehilangan kekuasaan itulah yang membuat korupsi marak. Dalam konteks ini, kekayaan berlimpah, korupsi, dan kepala daerah menjadi satu tarikan benang merah yang amat sulit diputuskan.
Indikasi Korupsi
Tidak ada salahnya memang bila seorang kepala daerah mempunyai kekayaan yang berlimpah. Yang salah ialah ketika kekayaan berlimpah itu diperoleh melalui cara-cara sesat seperti penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang berujung pada korupsi. Indikasi inilah yang (sekali lagi) ditemukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terhadap kekayaan berlimpah tidak wajar beberapa kepala daerah. Kekayaan berlimpah tidak wajar atau yang jamak juga disebut “rekening gendut” dalam laporan hasil analisa (LHA) PPATK kali ini tercatat setidaknya ada 18 nama kepala daerah, baik yang masih aktif maupun yang sudah lengser dari jabatannya. Adapun sejumlah nama yang sudah santer terdengar di aras publik di antaranya adalah mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, Bupati Pulang Pisau Achmad Amur, dan mantan Bupati Klungkung I Wayan Candra.
Mengutip Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung  (Kejagung), Agung Tony T Spontana, mengatakan bahwa “rekening gendut” dalam LHA PPATK dimiliki oleh 8 kepala daerah yang terdiri dari seorang gubernur aktif, dua mantan gubernur, serta lima bupati dan mantan bupati. Sementara, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad mengungkapkan bahwa dalam LHA PPATK yang diterimanya terdapat 10 nama kepala daerah. Maka, besar kemungkinan dari 18 nama tersebut 8 nama kepala daerah diserahkan kepada Kejagung dan 10 nama lainnya yang terindikasi korupsi jauh lebih besar diserahkan kepada KPK. Namun yang terpenting, baik KPK maupun Kejagung harus segera menindaklanjuti LHA PPATK terkait rekening gendut kepala daerah tersebut. Jangan sampai sejarah kelam penanganan temuan rekening gendut, yaitu tidak adanya kasus rekening gendut yang sampai ke meja hijau terus menerus terjadi.
Efek Jera
Salah satu kelemahan pemberantasan korupsi di negara ini ialah rendahnya saksi hukum yang diberikan pada koruptor. Hukuman penjara selama 4 tahun atau paling lama 5 tahun serta denda ringan menjadi hal lumrah yang ditemui dalam setiap persidangan kasus korupsi. Koruptor pun menjadi semakin sumringah dengan pelbagai perlakuan istimewa yang diterimanya, seperti pemberian remisi pada hari-hari besar tertentu, diizinkan mengenakan pakaian batik pada saat persidangan, bisa menggunakan perangkat elektronik seperti ponsel dan laptop di dalam lembaga pemasyarakatan (LP), hak politik tidak dicabut, dan dapat menjalankan aktivitas bisnis dari balik jeruji besi. Data terbaru, meskipun Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Yasona Laoly sempat menyatakan tidak ada remisi Natal untuk koruptor, tetapi dari data yang dirilis Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemasyarakatan Kemenkum HAM menunjukkan terdapat 49 narapidana korupsi yang mendapatkan remisi hari Natal.
Fakta teranyar lain yang terungkap yaitu dibukanya kuliah pascasarjana (S2) bidang hukum bagi narapidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sukamiskin, Bandung. Perlakuan bagi koruptor yang demikian jelas jauh dari nilai etika dan kepatutan untuk figur yang telah menggerogoti uang negara dan membuat rakyat semakin menderita. Akhirnya, LHA PPATK terkait rekening gendut kepala daerah sudah semestinya ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum, utamanya KPK dan Kejagung dengan mengedepankan azas kecepatan dan persamaan di mata hukum (equality before the law). Apabila kemudian terbukti terdapat rekening gendut kepala daerah yang berasal dari kejahatan korupsi kepala daerah itu sendiri, maka harus diberikan sanksi hukum yang tidak hanya berat tetapi juga mempunyai efek jera. Sehingga, ke depan para kepala daerah akan berfikir ribuan kali sebelum memperkaya diri maupun keluarganya melalui cara-cara yang diharamkan oleh undang-undang, utamanya dengan korupsi. Semoga!.

 Dimuat dalam kolom opini Harian Analisa edisi 16 Januari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar