![]() |
(Dok. rmol.com) |
Indonesia dikenal sebagai salah satu
negara paling demokratis di dunia ini, bersama Amerika Serikat dan India. Kualitas
demokrasi Indonesia kemudian semakin diakui dan menjadi rujukan dunia
pascakesuksesan penyelenggaraan pemilu presiden (Pilpres) 2014. Kala itu,
kontestasi Pilpres 2014 yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon, yaitu
Prabowo Subianto- Hatta Radjasa dan Joko Widodo- Jusuf Kalla membuat konstelasi
politik nasional berada pada titik klimaks. Dari elit partai sampai rakyat
biasa terbelah ke dalam dua faksionalisasi yang saling berseberangan. Imbasnya,
gesekan politik pun terus terjadi dan hampir tidak mengenal batasan waktu
maupun tempat, baik di dunia nyata maupun di dunia maya seperti Facebook dan Twitter. Tetapi, justru pada titik inilah kualitas pemimpin dan
kualitas demokrasi suatu negara sesungguhnya dapat terbangun dengan baik.
Ketatnya persaingan akan memaksa setiap
figur pasangan calon untuk mengeluarkan seluruh sumber daya dan kemampuan yang
dimilikinya. Sehingga, pemimpin yang dilahirkan dari proses demokrasi seperti
ini ialah pemimpin yang benar-benar berkualitas dan mumpuni untuk memimpin
suatu negara. Celakanya, merebaknya politik aklamasi (calon tunggal) dalam
pemilihan ketua umum (Ketum) partai belakangan ini memberikan ancaman serius
bagi dua hal penting di atas, yaitu suksesi kepemimpinan nasional dan kualitas
pembangunan demokrasi itu sendiri. Hadirnya politik aklamasi kerap menutup
rapat-rapat peluang kader lain untuk bisa maju sebagai calon ketum partai. Artinya,
hal ini secara tidak langsung menutup peluang kader partai tersebut untuk bisa
menjadi calon pemimpin masa depan negara ini. Itulah sebabnya, hadirnya politik
aklamasi yang merebak belakangan ini mesti diwaspadai, utamanya bagi partai
politik (parpol) yang akan menggelar musyawarah nasional (Munas) atau kongres dalam
waktu dekat ini.
Menginvasi
Parpol Modern
Dalam tradisi politik nasional, politik
aklamasi sesungguhnya bukanlah gejala politik baru, utamanya bagi parpol yang
mengandalkan sumber daya trah keluarga seperti Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP). Trah Soekarno yang diwarisi pada diri Megawati Soekarno
Putri membuat dia tidak pernah mempunyai “lawan” dalam memperebutkan pucuk pimpinan
partai berlambang banteng itu. Hanya saja, dewasa ini politik aklamasi tidak
hanya dimonopoli oleh partai yang mengandalkan sumber daya trah saja, tetapi
mulai menginvasi ke parpol modern yang konon telah mempunyai patron suksesi
kepemimpinan melalui cara-cara demokratis. Terbukti dalam suksesi kepemimpinan
parpol di tahun 2014, hanya Munas Golkar versi Agung Laksono saja yang
melakukan pemilihan ketum partai melalui mekanisme voting. Sementara, suksesi kepemimpinan lainnya, yaitu Muktamar
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Surabaya, Muktamar Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) versi Romahurmuziy di Surabaya, Muktamar PPP versi
Suryadharma Ali di Jakarta, dan paling mutakhir Munas Golkar di Bali semuanya terpilih
secara aklamasi.
Melihat konstelasi politik nasional saat
ini, gejala politik aklamasi nampaknya akan terus berlanjut menginvasi
partai-partai yang akan menggelar munas atau kongres pada tahun 2015 ini.
Diantaranya, PDIP, Partai Demokrat (PD), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). PD misalnya,
gejala hadirnya politik aklamasi dalam kongres yang akan diselenggarakan pada
Februari 2015 mendatang sudah terlihat dari pernyataan Sekretaris Jenderal
(Sekjen) PD, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas). Ibas secara terbuka telah
mengungkapkan keyakinannya bahwa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan terpilih
lagi sebagai Ketum PD secara aklamasi. Lebih lanjut, Ibas mengungkapkan bahwa
masih banyak kader PD yang mengingikan SBY untuk memimpin partai belambang
mercy itu kembali. Pun demikian dengan PAN, Hatta Radjasa sudah menyatakan niatnya
bakal kembali mencalonkan diri sebagai ketum kepada sejumlah elit PAN.
Sementara dua kompetitornya, Drajad Wibowo dan Zulkifli Hasan nampak belum
berani memberikan “perlawanan”.
Krisis
Kepemimpinan
Hadirnya politik aklamasi jelas
bertentangan dengan filosofi demokrasi sebagaimana yang dianut oleh negara ini.
Demokrasi yang dianut oleh negara ini mempunyai makna memberikan kebebasan dan kesempatan
yang sama kepada setiap warga negara dalam segala hal, termasuk untuk menjadi
pemimpin masa depan bangsa. Sementara, hadirnya politik aklamasi justru
mengandung pemaknaan sebaliknya. Yakni, menutup rapat-rapat peluang kader lain
untuk bersaing secara sehat dalam menduduki pucuk pimpinan partai. Ini karena praktik
politik aklamasi ini biasanya kerap diterapkan oleh ketum incumbent yang ingin kembali menjadi ketum parpol melalui jalan
pintas. Buya Syafii Maarif menyebut praktik semacam ini sebagai “politisi rabun
ayam”, di mana pragmatisme politik lebih ditonjolkan kepermukaan dari pada
idealitas politik (Ali Rif’an, 2014).
Alhasil, regenerasi kepemimpinan parpol menjadi
terhambat dan suksesi kepemimpinan nasional pada akhirnya akan mati. Singkat
kata, merebaknya politik aklamasi parpol pada titik kritis tertentu akan
menyebabkan negara mengalami ancaman krisis kepemimpinan. Karenanya, merebaknya
politik aklamasi harus disikapi sebagai otokritik, utamanya bagi parpol yang
akan menggelar munas atau kongres dalam waktu dekat ini. Parpol harus membuka kesempatan
seluas-luasnya bagi setiap kader terbaik partai yang ingin maju sebagai calon
ketum. Terkait hal ini, peran ketum partai sangat diperlukan untuk bisa
menciptakan suasana kondusif (enabling
environment) di internal partai. Egoisme dan pragmatisme politik yang kerap
dikedepankan oleh para ketum partai mesti dihilangkan. Bila suksesi
kepemimpinan partai bisa berjalan dengan optimal, ke depan bukan mustahil negara
ini akan mempunyai banyak bakal pemimpin nasional yang tak hanya berkualitas
tetapi juga demokratis.Semoga!.
Dimuat dalam opini Bali Post edisi 12 Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar