Memitigasi Tragedi Miras Oplosan


(Dok. allofbisnis.blogspot.com)

Di tengah riuh rendah dunia politik dan sengkarut kurikulum pendidikan nasional yang kini sedang menjadi sorotan, agaknya fokus pemerintah menjadi terbelah sehingga melupakan penanganan persoalan yang kerap menyambangi masyarakat kelas menengah ke bawah (lower middle class), yaitu maraknya peredaran minuman keras (miras) oplosan. Walhasil, kelengahan pemerintah itupun harus dibayar mahal dengan hilangnya puluhan bahkan ratusan nyawa penduduk secara sia-sia akibat mengonsumsi miras oplosan tersebut. Kasus terbaru yang menelan banyak korban jiwa yakni yang terjadi di Kabupaten Garut dan Kabupaten Sumedang pada awal Desember lalu. Sedikitnya 27 orang meninggal dunia akibat mengonsumsi miras oplosan “Cherrybelle”, sedangkan korban yang di rawat di rumah sakit jumlahnya mencapai ratusan orang. Maka, fenomena tersebut harus segera dipetakan secara serius agar tidak menyebar ke daerah-daerah lain.
Miras oplosan pada hakikatnya mempunyai kandungan yang jauh berbeda dengan jenis miras lainnya, utamanya jenis miras seperti yang dilegalkan oleh pemerintah sebagaimana termaktub dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Mafhum diketahui, miras oplosan pada umumnya dibuat dari campuran air putih dengan metanol (metil alkohol) yang memiliki sifat aditif (beracun). Sementara, jenis miras lain sebagaimana yang dilegalkan pemerintah pada umumnya menggunakan campuran dari etanol. Maka, miras oplosan jelas jauh lebih berbahaya karena kandungan racun yang dimilikinya. Oleh sebab itu, terlepas dari pro-kontra isi Perpres Nomor 74 Tahun 2013 itu sendiri, namun tetap harus dipahami bahwa maraknya peredaran miras oplosan mempunyai dampak yang lebih berbahaya dari peredaran jenis miras lainnya. Itulah sebabnya, pemberantasan peredaran miras oplosan harus dilakukan secara cepat, efektif dan efisien.
Kadar Kandungan
Mengkonfirmasi atas hal itu, fakta di lapangan menunjukkan bahwa kita lebih mudah menjumpai kematian yang diakibatkan karena mengonsumsi miras oplosan dari pada jenis miras lainnya. Kondisi ini disebabkan karena miras oplosan sama sekali tidak memperhatikan kadar kandungan alkohol dan campuran yang digunakan di dalamnya. Ini berbeda dengan miras sebagaimana yang dimaksud dalam Perpres Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Dalam Perpres itu disebutkan miras terbagi menjadi tiga kategori. Pertama, miras kategori A yakni miras dengan kadar alkohol tak lebih dari 5 persen saja. Kedua, miras kategori B yaitu miras dengan kadar kandungan alkohol 5 persen- 20 persen. Dan ketiga, miras kategori C yaitu miras dengan kadar kandungan alkohol 20 persen- 55 persen.
Batas kadar kandungan alkohol 55 persen dalam miras kategori C merupakan batas toleransi maksimal kadar kandungan alkohol yang bisa diterima oleh tubuh manusia. Artinya, penggunaan kadar kandungan alkohol lebih dari 55 persen dalam miras akan sangat membahayakan bagi tubuh manusia itu sendiri. Singkat kata, keberadaan miras sebenarnya tidak akan berbahaya jika mengacu pada ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah sebagaimana tertuang dalam Perpres Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Maka, berkaca dari pelbagai kasus kematian yang baru-baru ini terjadi akibat mengonsumsi miras oplosan, publik semestinya bisa memahami bahwa miras oplosan sangat berbahaya dan tidak cocok dikonsumsi tubuh manusia. Oleh sebab itu, diperlukan upaya mitigasi yang tepat dan relevan agar tragedi kematian akibat mengonsumsi miras oplosan tak terulang lagi di masa mendatang.
Mitigasi Relevan
Jika dianalisis secara mendalam, mayoritas orang yang gemar mengonsumsi jenis miras oplosan yaitu mereka yang menjadi bagian dari masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah. Di sisi lain, mafhum di sadari jika minum miras sudah menjadi budaya sejak lama, bahkan sebelum kedatangan Pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia. Sebagaimana laporan yang dilansir Algemenee Politie, Pemerintah Belanda di Batavia menengarai adanya beberapa daerah produsen miras di Jawa. Antara lain, Madiun, Gombong, dan Bekonang (Solo). Bahkan J. Kats dalam tulisannya Heet Alcoholkwaad (1899) menyatakan bahwa 30 persen kematian di Jawa disebabkan oleh minuman beralkohol (Toto Subandriyo, 2014). Maka, bagi sebagian masyarakat miras dapat dikatakan merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi sebagai wujud aktualisasi atau eksistensi diri.
Berdasarkan atas analisis tersebut, maka menjadi relevan bagi sebagian masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah untuk menunjukkan aktualisasi atau eksistensi dirinya dengan mengonsumsi miras oplosan. Sebab, tidak ada pilihan lain selain miras oplosan yang harganya terjangkau oleh kalangan masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah. Karenanya, untuk memitigasi banyaknya nyawa yang hilang sia-sia akibat meminum miras oplosan, tidak ada cara lain yang bisa dilakukan pemerintah selain dengan mendorong peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat. Menyitir pandangan Flo K Sapto W, jika taraf kehidupan yang lebih baik sudah terkondisi, segmen pasar oplosan akan tereduksi dengan sendirinya. Dalam konteks ini, tentu saja penulis tidak menganjurkan untuk mengonsumsi miras biasa dari pada miras oplosan. Hanya saja, mengingat mengonsumsi miras telah menjadi budaya bagi sebagian masyarakat di negara ini dan hampir mustahil peredaran miras bisa dihilangkan secara total. Maka, dalam kondisi negeri darurat miras oplosan seperti saat ini, tindakan yang relevan dan masuk akal tentu lebih bijak untuk diterapkan dari pada tindakan yang hampir mustahil diwujudkan. Yang terpenting, yaitu tidak terjadi lagi hilangnya nyawa masyarakat secara sia-sia akibat mengonsumsi miras oplosan. Semoga!.

Dimuat dalam kolom opini  Inilah Koran edisi 6 Januari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar