![]() |
(Dok. analisadaily.com) |
Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM)
akhirnya mengeluarkan rekomendasi pertamanya sejak dibentuk pada pertengahan
November 2014 lalu. Yaitu, agar PT Pertamina (Persero) menghentikan importasi
bahan bakar minyak (BBM) research octane
number (RON) 88 dan menggantinya dengan melakukan importasi BBM RON 92. Dalam
bahasa awam, rekomendasi tersebut berarti menghapus premium dan menggantinya
dengan pertamax. Selanjutnya, seiring dengan penghapusan premium itu akan
diterapkan subsidi tetap (fixed subsidy)
pada pertamax. Artinya, dengan harga minyak mentah (crude oil) dunia saat ini dikisaran 55 dolar AS per barel (Kompas, 24/12), ditambah dengan asumsi
subsidi tetap sebesar Rp 500,00 hingga Rp 1.000,00. Maka, harga jual pertamax
berpotensi berada pada kisaran Rp 8.500,00 hingga Rp 9.000,00 per liter.
Perkiraan harga jual pertamax tersebut
tentu tidak jauh berbeda dengan harga premium di pasaran saat ini, yaitu Rp
8.500,00 per liter. Pendek kata, dari perspektif keekonomian penghapusan
premium sebenarnya tidak terlalu berdampak signifikan terhadap daya beli
masyarakat, tak terkecuali masyarakat kelas menengah ke bawah (lower middle class). Faktanya, pascakenaikan
harga BBM bersubsidi pada 18 November 2014 lalu, secara keseluruhan kondisi
perekonomian nasional tetap stabil dan terkontrol dengan baik. Terbukti angka
pertumbuhan perekonomian nasional masih berada pada koridor yang ditargetkan oleh
pemerintah, yaitu dikisaran 5,1 persen. Hanya saja, belum adanya penjelasan
secara utuh dari TRTKM maupun pemerintah terkait orientasi, tujuan, dan dampak
penghapusan premium membuat masyarakat menjadi khawatir akan implikasi yang
ditimbulkan apabila premium nantinya benar-benar akan dihapuskan.
Karenanya, jika nantinya pemerintah
menerima rekomendasi dari TRTKM ini, maka baik pemerintah maupun TRTKM mutlak
untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat secara utuh terkait implikasi
penghapusan premium tersebut. Sehingga, tidak ada kekhawatiran dan gejolak di
ruang publik yang bisa menyebabkan terjadinya pergolakan nilai inflasi secara
signifikan. Di samping itu, pemerintah juga perlu membuat regulasi baru terkait
penjualan BBM di Tanah Air. Pasalnya, penghapusan premium juga akan berdampak
pada dominasi Pertamina dalam industri migas nasional. Jika pemerintah gagal
dalam membuat regulasi yang tepat, bukan tidak mungkin bisnis Pertamina justru
hancur akibat kalah bersaing dengan SPBU-SPBU asing. Itulah sebabnya, regulasi
yang harus dibuat pemerintah paling tidak mutlak mengandung dua unsur pokok,
yaitu mampu menjaga daya beli masyarakat dan mampu menjaga dominasi Pertamina
dalam industri migas nasional.
Penghapusan
Bertahap
Rekomendasi penghapusan premium oleh TRTKM,
jika kemudian direalisasikan oleh pemerintah setidaknya memiliki tiga muatan
positif di dalamnya. Pertama, mempersempit
praktik kartel dan pemburu rente di industri migas. Mafhum diketahui, harga BBM
RON 88 tidak ada di bursa minyak Singapura (Mean
of Platts Singapore/ MoPS). Sehingga, harga patokan yang digunakan ialah berdasarkan
harga untuk jenis BBM yang mempunyai spesifikasi paling mendekati yaitu, Mogas
92. Dalam pembentukan harga inilah praktik kartel dan pemburu rente kerap
ditemukan. Sehingga, bila premium dihapuskan, tidak akan terjadi lagi praktik
kartel dan pemburu rente, minimal dalam pembentukan harga minyak mentah yang
akan diimpor. Kedua, dapat menjaga
kualitas kendaraan dan lingkungan tetap baik. Hal ini disebabkan proses pembakaran
menggunakan BBM RON 92 jauh lebih sempurna dari pada menggunakan BBM RON 88. Alhasil,
selain kualitas kendaraan tetap baik, emisi yang dihasilkan dari proses
pembakaran itupun lebih ramah lingkungan.
Ketiga,
dapat menjaga stabilitas postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal
ini mengacu pada subsidi tetap yang diterapkan pada pertamax bila premium
dihapuskan sebagaimana rekomendasi TRTKM. Sehingga, kemungkinan terjadinya
perubahan postur ABPN akibat fluktuasi harga minyak dunia sangat kecil. Selain
itu, politisasi harga BBM oleh elit-elit politik tidak bertanggung jawab juga
bisa dihindari. Secara keseluruhan, stabilitas dalam postur APBN tersebut akan
dapat memacu pertumpuhan perekonomian nasional ke arah yang lebih positi. Namun
demikian, jika rekomendasi penghapusan premium itu kemudian diterima pemerintah
seyogianya tidak dilaksanakan secara terburu-buru, terlebih lagi hanya dalam
rentang lima bulan sebagaimana tenggat waktu yang diberikan TRTKM kepada
Pertamina. Pemerintah bisa mengambil opsi skenario penghapusan premium bertahap
untuk meminimalkan dampak negatif penghapusan premium di pasaran. Skenario itu
bisa disinergisitaskan dengan kemampuan kilang minyak nasional dalam
menyediakan RON 92.
Jamak diketahui, kilang minyak di negara
ini yang mampu menghasilkan BBM RON 92 hanya kilang minyak Balongan saja, yaitu
sekitar 200.000 barel per bulan. Kemampuan menyediakan BBM RON 92 tersebut akan
bertambah signifikan ketika kilang minyak Trans Pacific Petrochemical Indotama
(TPPI) di Tuban bisa beroperasi secara penuh. Yakni mampu menghasilkan RON 92
sekitar 5 juta barel per bulan. Meskipun demikian, kemampuan kilang minyak-kilang
minyak tersebut dalam menyediakan BBM RON 92 belum bisa menutupi kebutuhan BBM
secara nasional, mengingat konsumsi BBM nasional rata-rata adalah 1,6 juta
barel per hari. Oleh sebab itu, penghapusan premium bisa dilakukan secara bertahap,
disesuaikan dengan volume ketersediaan RON 92 tersebut. Akhirnya, publik harus
menyadari bahwa segala kebijakan yang diambil pemerintah tentunya berdasarkan
pertimbangan yang matang dan demi peningkatan kualitas serta kesejahteraan
rakyat. Maka, publik tidak perlu terlalu khawatir bila pemerintah nantinya akan
benar-benar merealisasikan rekomendasi penghapusan premium tersebut.
Dimuat dalam kolom opini Harian Analisa edisi 8 Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar