![]() |
(Dok. news.okezone.com) |
Sulit rasanya untuk tidak mengatakan
bahwa realitas masifnya upaya menjerat jajaran komisioner Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) ke jalur hukum belakangan ini bukan merupakan bentuk terselubung
pelemahan KPK. Sehari setelah Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditetapkan
sebagai tersangka oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim), komisioner lainnya
yaitu Adnan Pandu Pradja (APP) diketahui juga telah dilaporkan ke Bareskrim
dengan nomor laporan LP/90/1/2015/Bareskrim (24/1). APP diduga melakukan perampasan
saham PT Desy Timber yang beroperasi di Berau, Kalimantan Timur. Setali tiga
uang, Ketua KPK Abraham Samad (AS) pun diketahui telah dilaporkan oleh KPK
Watch Indonesia atas dugaan terlibat aktivitas politik pada saat Pemilu Presiden
(Pilpres) 2014. AS diduga melanggar
Pasal 36 juncto Pasal 65 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK).
Belakangan santer terdengar kabar nama komisioner KPK yang tersisa, Zulkarnaen
juga akan dilaporkan ke Bareskrim atas dugaan korupsi dana hibah Program
Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Jawa Timur pada tahun 2008.
Mengacu UU KPK, utamanya Pasal 32 ayat
(2) dan ayat (3), kemungkinan terburuk dari jerat hukum yang masif dilakukan
terhadap para komisoner KPK tersebut ialah kekosongan jabatan pada jajaran
komisionernya. Pasal 32 ayat (2) berbunyi dalam hal Pimpinan KPK menjadi
tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya. Lebih
jauh ditegaskan dalam ayat (3) bahwa pemberhentian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia. Ini berarti
menjadi harga mati bagi komisioner KPK yang menyandang status tersangka untuk
dinonaktifkan dari jabatannya oleh presiden. Di sinilah KPK bisa dilemahkan
secara masih, terstruktur, dan sistematis. Mahfum disadari bila menjadikan
seseorang sebagai tersangka melalui rekayasa hukum bukan hal yang sulit
dilakukan, utamanya bagi mereka yang mempunyai kewenangan dan kekuasaan dalam
sistem pemerintahan negara ini. Kasus Bibit Samad dan Chandra Hamzah bisa
menjadi bukti nyata salah satu dari segelintir kasus rekayasa hukum yang pernah terjadi di negara ini dan telah
dapat dibuktikan kebenarannya oleh tim delapan bentukan mantan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono.
Dalam konteks kekinian, potensi
terjadinya kelumpuhan dalam pemberantasan korupsi di negara ini sangatlah
besar. Sebab, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 21 ayat (5) UU KPK bahwa
komisioner KPK bekerja secara kolektif kolegial. Yaitu, pengambilan kebijakan
tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri, tetapi merupakan keputusan
bersama dari seluruh komisioner KPK. Maka, peningkatan status kasus korupsi
yang sedang diselidiki termasuk untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka
tidak dapat dilakukan bila terjadi kekosongan jabatan pada komisioner KPK. Pun
demikian bila jumlah komisioner KPK tidak lengkap sebagaimana ketentuan
konstitusi, potensi cacat hukum atas pelbagai kebijakan yang ditetapkan sangat
besar (Romli Atmasasmita, 2015). Itulah sebabnya, upaya terselubung pelemahan
KPK dengan mempreteli satu per satu komisioner KPK perlu diwaspadai. Publik
harus bersatu untuk mendorong Presiden Jokowi agar segera merealisasikan janji
politiknya untuk memperkuat KPK.
Langkah
Penting Presiden Jokowi
Rilis data Transparency International Indonesia (TII) pada tahun 2014 terkait
indeks persepsi korupsi (IPK), secara gamblang menunjukkan bahwa praktik
korupsi di negara ini masih merajalela. IPK Indonesia tercatat berada pada
peringkat 107 dari 175 negara dengan
skor 34. Di level Asia Tenggara, IPK Indonesia berada jauh di bawah Singapura
dengan skor 84 (peringkat 7), Malaysia dengan skor 52 (peringkat 50), dan
Thailand dengan skor 38 (peringkat 85). Realitas tersebut membuktikan bahwa
korupsi masih menjadi masalah kronis bangsa yang tentu tidak boleh hanya
didiamkan begitu saja. Maka, memperkuat KPK sudah sepatutnya mutlak dilakukan
dan bukan malah sebaliknya melakukan pembiaran terhadap adanya upaya
terselubung pelemahan KPK. Itulah sebabnya ada tiga langkah penting yang harus
segera dilakukan oleh Presiden Jokowi.
Pertama,
segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
Imunitas bagi komisioner KPK. Dengan catatan, Perppu Imunitas tersebut harus
bersifat terbatas. Misalnya, hanya selama menjabat sebagai komisioner dan bukan
tergolong kejahatan luar biasa (extra
ordinary crime). Sehingga, kekhawatiran sebagian masyarakat akan potensi
penyalahgunaan hak imunitas oleh komisioner-komisioner KPK dapat dihindarkan.
Sebab, pelanggaran hukum yang dilakukan diluar ketentuan hak imunitas yang
diberikan masih bisa dilaporkan dan diproses secara hukum. Kedua, mengeluarkan Perppu untuk mengisi kekosongan jabatan
komisioner KPK yang ditersangkakan. Seperti diketahui, Wakil Ketua KPK Bambang
Widjojanto telah ditetapkan sebagai tersangka. Maka berdasarkan ketentuan Pasal
32 ayat (2) dan ayat (3) UU KPK, kekosongan jabatan Bambang Widjojanto dalam
jajaran komisioner KPK tinggal menunggu waktu saja.
Ketiga,
mengirim surat ke DPR agar pengganti Busyro Muqoddas segera ditetapkan dan
dilaporkan ke presiden untuk bisa diterbitkan Keppres-nya. Ini penting
dilakukan untuk menutup celah-celah hukum yang mungkin terjadi sebagai
konsekuensi dari Pasal 21 ayat (5) UU KPK yang menyatakan bahwa komisioner KPK
bekerja secara kolektif kolegial. Maka, pengisian kekosongan jabatan komisioner
KPK, baik yang diakibatkan pemberhentian sementara oleh presiden maupun karena
masa jabatannya sudah berakhir mutlak menjadi prioritas. Akhirnya, pelemahan
terselubung terhadap KPK yang terjadi secara masif, terstruktur dan sistematis mesti
diakhiri. Maka, skenario memperkuat KPK menjadi harga mati yang harus segera
dilakukan oleh Presiden Jokowi. Minimal hal itu akan bisa menjadi oase bagi
publik di tengah minimnya prestasi Presiden Jokowi dalam seratus hari masa
kerja pemerintahannya. Wallahu a’lam.
Dimuat dalam kolom opini Bali Post edisi 2 Februari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar