Ironi Dramaturgi Politik di Parlemen

Rekapitulasi perhitungan suara secara nasional pemilu legislatif (pileg) 2014 memang belum selesai. Meskipun demikian, figur-figur yang akan menjadi penghuni parlemen baru periode 2014-2019 sebagian besar sudah dapat diprediksi, yakni melalui hitung cepat (quick count) dan perhitungan independent tim sukses calon legislatif (caleg) masing-masing. Sejauh ini memang belum ada data pasti mengenai jumlah wajah baru maupun wajah lama (incumbent) yang akan menghuni parlemen baru, namun dapat dipastikan bahwa akan terjadi regenerasi parlemen. Regenerasi parlemen jelas memberikan harapan baru bagi masyarakat agar tercipta pemerintahan yang lebih peka terhadap aspirasi rakyat. Pertanyaannya, apakah regenerasi yang terjadi di parlemen tersebut nantinya benar-benar dapat menciptakan parlemen pro rakyat? Dalam artian, apakah kemudian parlemen baru mau dan mampu menyerap aspirasi rakyat yang kemudian menyalurkannya dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang pro rakyat?. Sungguh, bukan pertanyaan yang mudah dijawab, apalagi keterpilihan figur-figur baru di parlemen secara nyata masih menyisakan berbagai persoalan pelik. Misalnya saja, begitu kentaranya penggunaan politik uang (money politics), kampanye hitam (black campaign), dan manipulasi jumlah suara. Khusus modus yang disebut terakhir, menjadi catatan penting bagi partai politik (parpol) agar lebih fokus dalam  menciptakan iklim kompetisi yang sehat dan konstruktif di internal parpol. Pasalnya, manipulasi jumlah suara seringkali malah terjadi antar caleg dalam satu parpol. Manipulasi jumlah suara tersebut biasanya dilakukan dengan “mencuri” suara caleg A, untuk kemudian ditambahkan pada jumlah perolehan suara caleg B yang sejatinya bernaung dalam satu parpol. 

Dramaturgi Politik
Sejatinya, masyarakat sangat menghendaki agar parlemen baru hasil pileg 2014 adalah parlemen berkualitas. Namun, banyaknya laporan kecurangan pileg yang diterima Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di daerah maupun ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di pusat, mengindikasikan keinginan rakyat tersebut masih sulit diwujudkan. Bisa saja, lagi-lagi parlemen yang terbentuk nantinya hanyalah manifestasi dari dramaturgi politik belaka. Dramaturgi dipopulerkan oleh filsuf besar zaman Yunani kuno, Aristoteles dalam karyanya yang berjudul Poetics. Aristoteles mendiskripsikan dramaturgi sebagai wujud pemanggungan drama-drama politik yang berakhir dengan kisah-kisah tragis, hingga kisah-kisah komedi. Lebih jauh lagi, Aristoteles menjelaskan bahwa manusia adalah aktor yang berusaha menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui pertunjukkan “dramanya” sendiri. Salah satu drama politik yang paling aktual saat ini tentu saja polemik kecurangan pileg, tak jarang caleg dalam satu partai saling melaporkan dugaan pelanggaran ke Panwaslu, Bawaslu, bahkan ada yang sampai ke Mahkamah Agung (MA). Setiap caleg dengan pertunjukan “dramanya” sendiri, seolah-olah ingin membenarkan bahwa kekalahannya dalam pileg adalah akibat dari kecurangan yang dilakukan caleg-caleg pesaingnya. Asupan-asupan dramaturgi politik seperti itu, jelas membuat masyarakat menjadi harap-harap cemas akan integritas figur-figur yang mengisi parlemen baru kelak. Memang ada kemungkinan “drama” politik yang dilakukan caleg yang merasa dicurangi adalah hanya sekedar drama belaka, tetapi tak menutup kemungkinan jika kecurangan pileg memang benar dilakukan oleh caleg pemenang pileg. Kondisi ini tentu memunculkan kekhawatiran bagi masyarakat jika ternyata parlemen baru kelak, tak jauh berbeda dengan parlemen periode 2009-2014. Bukan menjadi rahasia lagi jika parlemen periode 2009-2014 merupakan salah satu parlemen terburuk yang pernah dimiliki negara ini. Faktanya, banyak anggota dewan yang terjerat tindak pidana korupsi, selain itu kinerja parlemen juga sangat buruk. Dari fungsi legislasi, hampir tak pernah mampu merampungkan undang-undang yang ditargetkan. Dari fungsi pengawasan dan anggaran, juga tak lebih baik dari pelaksanaan fungsi legislasinya. Anggaran keuangan negara banyak yang terbuang sia-sia. Kondisi ini diperparah dengan lemahnya fungsi pengawasan, imbasnya anggaran negara kemudian banyak yang dijadikan bancakan oleh oknum-oknum anggota dewan yang bermental korup. Parlemen baru kelak mutlak harus jauh lebih baik kinerjanya dari pada parlemen saat ini. Fungsi yang dimiliki parlemen, baik fungsi legislasi, pengawasan, dan penganggaran harus bisa dimaksimalkan.

Reorientasi Parpol
Menurut Aloys Budi Purnomo dalam bukunya “Rakyat (Bukan) Tumbal (Kekuasaan & Kekerasan)”, di dalam dramaturgi politik terkandung dua wajah kosong, yakni kepura-puraan sosial dan kiprah kampanye bak tong kosong berbunyi nyaring. Pengalaman masa kampanye pileg lalu, setidak-tidaknya telah membenarkan pernyataan tersebut. Para caleg mendekat dan begitu peduli dengan rakyat hanya saat mereka membutuhkan suara rakyat. Ketika memasuki fase koalisi seperti saat ini, maka mereka sibuk dengan kepentingan politik masing-masing. Akhirnya, fase koalisi mutlak sepenuhnya menjadi hajat politik mereka, tanpa ada yang bertanya koalisi yang dikehendaki oleh rakyat (konstituen mereka) seperti apa. Oleh sebab itu, penting bagi parpol untuk mengubah orientasinya, dengan tak lagi menjadikan kekuasaan sebagai panglima. Elite parpol harus mampu mengejewantahkan keinginan konstituen mereka, termasuk melibatkan di dalam fase koalisi. Selain itu, parpol juga mutlak untuk memperbaiki mekanisme kaderisasi parpol dan mekanisme penentuan calegnya. Selama ini, mekanisme kaderisasi parpol maupun mekanisme penentuan caleg masih menjadi sesuatu yang tak jelas. Akhirnya, reorientasi terhadap paradigma parpol menjadi penting dilakukan untuk menciptakan figur politik berkualitas. Dengan begitu, kekhawatiran lahirnya parlemen tidak berkualitas imbas dari drama-drama politik yang dilakukan para caleg tak akan terjadi. Semoga!

Dimuat dalam Opini Harian Waspada edisi 10 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar