![]() |
Doc. Banjarmasin Post |
Partisipasi
politik rakyat dalam ritual elektoral pemilu legislatif (pileg) 2014 sudah
ditunaikan pada 9 April. Hasilnya, angka partisipasi politik rakyat cenderung
stagnan dari partisipasi politik di pemilu-pemilu sebelumnya, yakni dikisaran
70-75 persen. Sejalan dengan hal tersebut, rilis hitung cepat (quick count) terbaru yang dikeluarkan
Center for Strategic and International Studies (CSIS) dan Cyrus Network juga
menunjukkan bahwa angka keterlibatan masyarakat dalam pileg 2014 lalu masih
merisaukan, yakni dikisaran 75,3 persen. Maka benar prediksi beberapa pengamat
politik sebelum pileg 2014 digelar, bahwa fenomena pemilu 2009 kembali akan
terulang. Realitas tersebut tentu menjadi noda hitam bagi penyelenggaraan pesta
demokrasi nasional ditengah puja dan puji demokrasi Indonesia dari negara luar.
Namun, noda hitam tersebut jelas tidak bisa hanya dibebankan pada rakyat
sepenuhnya, karena etos kerja para wakil rakyat yang sangat buruk itulah yang
menjadi penyebab sesungguhnya. Sebagai gambaran, dalam kurun waktu 3 (tiga)
tahun terakhir para wakil rakyat yang duduk di Senayan tak pernah mampu
menjalankan fungsi legislasinya dengan memuaskan, bahkan cenderung sangat
buruk. Pada tahun 2011 misalnya, dari 93 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang
ditargetkan, hanya 18 RUU saja yang mampu dituntaskan. Lalu pada tahun 2012,
dari target 64 RUU, hanya 10 RUU yang mampu dituntaskan menjadi Undang-Undang
(UU). Sementara pada tahun 2013, dari 76 RUU dalam program legislasi nasional
(prolegnas), pada sidang I DPR (2013-2014) hanya bisa menuntaskan 15 RUU
menjadi UU, dan pada periode sidang II sebanyak 33 RUU masih dalam tahap
pembahasan. Disisi lain, begitu masifnya polutan politik yang berwujud perilaku
korup para pejabat negara juga mempunyai andil besar dalam terciptanya noda
hitam demokrasi tersebut.
Hilangnya Humanisme
Dari kaca mata etika politik, realitas terciptanya
noda hitam demokrasi tersebut adalah mutlak ekses dari hilangnya esensi humanisme
di dalam proses politik itu sendiri. Artinya, esensi politik kini tak lagi
berpijak pada deon (keharusan moral),
melainkan hanya berpijak pada telos
(tujuan yang hendak dicapai). Sehingga, orientasi politik akhirnya hanya
berfokus pada strategi dan cara meraih kekuasaan. Tak heran, dalam setiap
pagelaran pemilu, mulai dari pemilukada, pileg, hingga pilpres sering terjadi
berbagai kecurangan. Tujuannye jelas, yakni memuluskan jalan menuju kursi
kekuasaan. Pada akhirnya, keharusan moral yang harus dilakukan para wakil
rakyat sebagai wujud timbal-balik karena telah dipilih oleh rakyat, malah
terabaikan. Celakanya lagi, pada tahap-tahap tertentu aspirasi rakyat
seringkali malah dieliminir, contohnya pada fase koalisi politik seperti saat
ini. Koalisi secara nyata hanya menjadi hajat bagi sebagian elite parpol.
Mereka saling melakukan kunjungan demi mendapatkan “jatah kekuasaan” seperti
yang diharapkan. Tak ada ruang terbuka bagi rakyat, sekalipun bagi konstituen
mereka sendiri. Akibatnya, kesejahteraan dan pelayanan publik tak pernah
meningkat, karena elite parpol tak pernah benar-benar tahu apa keinginan dari
konstituennya. Seorang filsuf politik kontemporer, Martha Nussbaum dalam
bukunya yang berjudul Not for Profit, Why
Democracy Needs The Humanities (2011), pernah menjelaskan bahwa hilangnya
humanisme di dalam ranah politik akan membuat demokrasi tidak memanusiakan
manusia. Ranah-ranah kesejahteraan sosial, ekonomi, dan politik akan semakin
jauh dari yang dikehendaki oleh rakyat pada umumnya. Meskipun kurang disadari,
kondisi itulah yang sebenarnya kini sedang dialami negeri ini. Politik tak lagi
mempunyai sisi kemanusiaan, politik hanya menjadi strategi halus untuk
melakukan praktik tipu daya kepada masyarakat. Jika tidak hati-hati, maka tipu
daya politik seperti era orde baru sangat mungkin bisa kembali lagi terjadi.
Maka, penting sebenarnya bagi elite politik baik yang duduk di pemerintahan
maupun yang duduk sebagai oposisi untuk mengafirmasi politik sebagai bagian
dari dimensi kemanusiaan. Sehingga, keinginan masyarakat untuk mempunyai
pejabat publik yang memiliki rasa empati pada kenyataan kondisi dan situasi
rakyat tak hanya sekedar ada diangan-angan saja.
Tahap Kritis
Tren nihilnya humanisme (rasa
memanusiakan manusia) dalam praktik politik dan demokrasi saat ini, bisa
dikatakan telah berada pada tahap yang kritis. Buktinya, apatisme publik pada elite parpol dan politik itu sendiri terus
saja menguat. Oleh karena itu, mutlak bagi kita semua dan elite politik
khususnya untuk mengembalikan humanisme politik pada tempat yang semestinya.
Dengan kata lain, setiap komunikasi politik maupun kebijakan-kebijakan politik
yang diambil haruslah berdasarkan atas rasa kemanusiaan. Maka mempertegas apa
yang dikatakan oleh Aristoteles, untuk mencapai kondisi itu Nussbaum mengungkapkan
bahwa orang-orang yang duduk di kursi kekuasaan seyogianya adalah orang-orang yang
berkapabilitas mumpuni atau apa yang disebut oleh Nussbaum dengan capabilities approa. Dengan begitu, para
pejabat publik akan mempunyai kualitas personal dua arah, yakni ke dalam dan ke
luar. Arah ke dalam mengisyaratkan bahwa pejabat publik memiliki kesanggupan
diri untuk memimmpin menurut standar-standar objektif. Sementara, arah ke luar
mempunyai arti bahwa para pejabat publik mempunyai kepedulian untuk
memperhatikan kondisi dan situasi rakyat. Akhirnya, segala anomali elite
politik dan para wakil rakyat pada masa lalu hendaknya tak terulang lagi pada
periode 2014-2019, maupun pada periode-periode selanjutnya. Maka, praktik
politik yang dilakukan haruslah berorientasi pada pengembangan potensi
kemanusiaan, dan tidak lagi hanya berorientasi pada strategi atau kepentingan
memenangkan diri atau kelompoknya saja.
Dimuat dalam Opini Banjarmasin Post edisi 6 Mei 2014
Dimuat dalam Opini Banjarmasin Post edisi 6 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar