![]() |
Doc. Joglosemar |
Ritual
elektoral pemilu legislatif (pileg) telah terlewati dengan sukses pada 9 April
lalu. Meski begitu, harus diakui masih banyak kecurangan-kecurangan yang terjadi
dalam pelaksanaannya. Berbagai kecurangan tersebut patut segera dievaluasi dan
dicarikan solusi agar tidak terulang kembali pada pemilu presiden (pilpres), 9
Juli 2014 mendatang. Salah satu kecurangan yang kentara digunakan namun sulit
terdeteksi pelakunya adalah penggunaan kampanye hitam. Kampanye hitam atau black campaign memang masih dipandang
sebagai jurus ampuh untuk menjatuhkan lawan politik dalam perebutan kursi
kekuasaan. Fenomena ini menunjukkan bahwa etika berpolitik para politikus di
negeri ini masih buruk serta tidak siap menerima kekalahan politik. Maka tak
heran jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam satu kesempatan pernah
mewanti-wanti agar semua pihak benar-benar menjauhi praktik kampanye hitam.
Selain itu, Presiden SBY juga pernah berpesan agar masyarakat waspada dan bisa
memilah pesan politik yang berupa fakta, dan pesan politik yang hanya berupa black campaign.
Secara nyata, penggunaan kampanye hitam dengan
tegas telah dilarang oleh Undang-Undang (UU) , diantaranya UU Nomor 8 tahun
2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, UU Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, dan UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi
Elektronik. Namun demikian, keberadaan UU di atas seakan tak bisa berbuat
banyak ketika menghadapi hembusan isu-isu yang berbau black campaign. Lebih jauh lagi, lembaga penyelenggara pemilu
seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), juga
tidak mampu mengimplementasikan keberadaan UU tersebut secara maksimal. Bagaimanapun
bagusnya isi UU, jika tidak dibarengi dengan upaya pelaksanaan yang maksimal
dari lembaga-lembaga bersangkutan, maka kecurangan-kecurangan yang terjadi
pasti tetap menjamur. Contoh paling kentara yang terlihat setiap hari tentu
saja masifnya kasus korupsi yang melanda negara ini. Tidak adanya sinkronisasi
antara UU dengan lembaga penegak hukum, membuat kasus korupsi begitu sulit
dihilangkan sampai ke akar-akarnya. Padahal jika kita mengkaji isi UU
antikorupsi yang ada, hukuman yang bisa dijeratkan pada koruptor lebih dari
cukup untuk membuat jera mereka melakukan korupsi (lagi). Tapi sekali lagi,
buruknya sinkronisasi UU yang ada dengan lembaga pelaksanaannya, secara nyata
membuat berbagai kecurangan-kecurangan di negara ini hampir mustahil untuk dihilangkan,
tak terkecuali kecurangan dalam setiap penyelenggaraan pemilu seperti black campaign tersebut.
Black
Campaign
dan Kasat Mata
Jika dilihat secara seksama, dalam
pemilu legislatif lalu praktik black
campaign begitu kentara digunakan untuk menjatuhkan masing-masing lawan
politiknya. Anehnya, KPU maupun Bawaslu hampir pasti tidak mampu mengusut dan
menjerat para pelaku penyebar black
campaign tersebut. Artinya, ada yang salah dengan strategi penanganan black campaign yang dilakukan oleh KPU
dan Bawaslu. Kondisi ini jelas sangat mengancam bagi keberlangsungan pilpres 9
Juli mendatang. Bukan tidak mungkin jika dimasa kampanye pilpres mendatang,
praktik-praktik black campaign
menjadi semakin sering terjadi. Faktanya, meski belum memasuki masa kampanye
pilpres saja, beberapa calon presiden (capres) yang sudah dimunculkan partai
politik (parpol) sudah terkena dampak dari black
campaign ini. Misalnya saja, kandidat capres dari Partai Golkar, yakni
Aburizal Bakrie (ARB) dengan foto dan video plesirannya dengan Zalianty
bersaudara (Marcella dan Olivia) ke Maladewa. Dampak dari black campaign ini bahkan sempat menggoyahkan internal partai berlambang
pohon beringin tersebut. Beberapa kalangan di internal partai, menghendaki agar
partai mengevaluasi kembali pencapresan ARB sebagai capres di pemilu 2014. Terlepas
tujuan sesungguhnya dari “plesiran” ARB dan Zalianty bersaudara ke Maladewa,
video dan foto yang beredar tersebut jelas merupakan salah satu bentuk kampanye
hitam untuk menjatuhkan ARB sebagai capres dan merongrong suara pendukungnya di
pilpres nanti. Namun jika kita cermati secara seksama, isu kampanye hitam ini
sebenarnya juga menyerang capres dari parpol lain. Capres dari PDIP, Joko
Widodo atau yang familiar dipanggil Jokowi juga sudah mulai sering terkena
isu-isu black campaign. Salah satu
isu black campaign yang menyerang
Jokowi dan mencuri perhatian publik adalah iklan televisi bertagline “Janji
Jokowi”. Iklan tersebut muncul beberapa kali di salah satu stasiun televisi
nasional milik MNC Group, yakni MNC TV. Lebih dari itu, isu-isu mengenai
presiden boneka maupun cukong-cukong pengusaha sebagai penyandang dana pemenangan
Jokowi dalam pilpres juga sudah mulai intensif diumbar ke publik. Sementara
itu, capres Partai Gerindra, yakni Prabowo Subianto juga tak luput dari serangan
isu-isu berbau black campaign.
Misalnya saja, isu mengenai Prabowo yang dikatakan antietnis Tionghoa, lebih
dari itu isu-isu mengenai keterlibatan Prabowo dalam kerusuhan Mei 1998, dugaan
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dan isu Prabowo anti dengan investor asing
juga semakin gencar terdengar dipublik.
Pendidikan Politik
Bernalar dan Berakal Sehat
Dalam praktiknya, harus diakui bahwa
black campaign memang sangat efektif
untuk menjatuhkan citra seseorang. Lebih jauh lagi, black campaign juga mampu membunuh karakter dan bahkan sampai
menamatkan karier politik seseorang. Maka tak heran jika kemudian black campaign hingga kini masih menjadi
jurus “rahasia” bagi mereka yang berkecimpung dalam percaturan politik
kekinian. Maraknya black campaign
yang menyerang setiap bakal capres jauh sebelum masa kampanye pilpres dimulai, jelas
menunjukkan kenyataan yang cukup pahit dan memprihatinkan bagi perkembangan
demokrasi nasional kekinian. Pasalnya, masyarakat disuguhi berbagai informasi
yang menyesatkan sebagai bahan pertimbangan untuk memilih. Pada tataran ini,
masyarakat dihadirkan banyak sekali hal-hal negatif terkait figur bakal capres
di pilpres 2014. Sehingga, ekses dari black
campaign ini jika dianalogikan seperti pisau bermata dua, yakni akan menyerang
figur capres maupun parpol tempatnya bernaungnya, serta akan menguatkan publick distrust dan apatisme publik pada politik. Para elite
politik dan petinggi-petinggi parpol seharusnya sadar betul akan resiko dari penggunaan
black campaign. Oleh sebab itu,
penting bagi elite politik untuk memberikan pendidikan politik yang bernalar
dan berakal sehat bagi tim sukses maupun konstituennya. Pendidikan politik
harus dipandang sebagai suatu kewajiban moral, tidak lagi sebagai hak atau
sekedar pelengkap dalam pidato kampanye semata. Tanggung jawab moral ini tentu
harus dijalankan dengan metode dan strategi yang sistematis. Artinya, perlu
sebuah contoh nyata dari para calon pemimpin dan elite poltik untuk menunjukkan
tanggung jawab turut menyelenggarakan kampanye dengan bersih dan sehat tanpa
embel-embel jurus “rahasia”. Dalam hal ini jurus “rahasia” yang dimaksud adalah
penggunaan kampanye hitam untuk membunuh karakter lawan-lawan politiknya
melalui cara-cara yang tidak sehat. Idealnya, potensi munculnya black campaign pada pilpres 2014 nanti sudah diatasi sejak
jauh-jauh hari. Karena, bukan menjadi rahasia umum lagi jika parpol maupun
elite politik di negara ini gemar melakukan black
campaign. Terlebih lagi di era multimedia seperti sekarang ini, dimana
media sosial telah berkembang begitu pesat menjadi media paling efektif untuk
berkomunikasi. Imbasnya, black campaign
seolah malah mendapatkan tempat untuk berkembang biak dengan leluasa. Hal inilah
yang seharusnya diantisipasi dan diatasi melalui implementasi peraturan yang
jelas dan sanksi yang tegas. Oleh sebab itu, patut rasanya celah-celah pada
undang-undang yang mengatur tentang pelarangan black campaign segera dievaluasi agar implementasinya bisa
benar-benar efektif dan efisien. Sehingga, presiden terpilih pascapilpres 2014
mendatang adalah figur politik yang benar-benar melakukan praktik politik
secara santun, sehat, dan bersih. Semoga!
Dimuat dalam Opini Joglosemar edisi 30 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar