![]() |
Dok. Berita Satu |
Celah Rekapitulasi
Jika ditelaah lebih mendalam, maka
setidaknya ada 2 (dua) faktor yang menyebabkan terjadinya sengkarut
rekapitulasi suara pileg 2014. Pertama,
banyaknya kesalahan (human eror) yang
dilakukan oleh Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan
Suara (PPS), Panitia Pemilihan kecamatan (PPK), dan KPU Daerah (KPUD). Ketidakmampuan
DPR dalam merespons dan mengejewantahkan sistem pemilu terbuka ke dalam
undang-undang, membuat regenerasi anggota baru KPUD di beberapa daerah
terhambat. Di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, KPUD baru dilantik 3 bulan
menjelang hari pencoblosan. Di Maluku, Nusa Tenggara Barat, dan Papua juga
mengalami kondisi serupa. Logikanya, bagaimana bisa KPUD bekerja maksimal
termasuk dalam memberikan sosialisasi dan pemantapan skill kepada anggota-anggota
KPPS, PPS, dan PPK dalam waktu yang sangat singkat. Padahal penguasaan skill
yang mumpuni jelas berdampak pada minimnya human
eror yang terjadi. Kedua, surat rekomendasi Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) tentang penangguhan waktu dan penghitungan ulang dalam setiap
rekapitulasi suara. Dari sisi frekuensi, surat rekomendasi yang dikeluarkan
oleh Bawaslu tergolong cukup banyak. Celakanya, surat rekomendasi yang dikeluarkan
oleh Bawaslu tersebut beberapa kali juga tak luput dari human eror. Rekapitulasi suara ulang di Kelurahan Simolang,
Surabaya misalnya, surat rekomendasi dari Bawaslu Jawa Timur yang dijadikan
sebagai acuan dalam pelaksanaan rekapitulasi tersebut ternyata terjadi salah pengetikan.
Dalam surat rekomendasi itu disebutkan bahwa jumlah perolehan suara pada
lampiran model D-1 (rekapitulasi tingkat kelurahan) caleg Partai Hanura nomor
urut 4 bernama Sariaman Sianipar, jumlahnya sudah sama dengan yang tertulis di
lampiran DA-1 (rekapitulasi tingkat kecamatan). Semestinya, kalau jumlah suara
pada lampiran D-1 dan DA-1 sudah sama maka tak perlu lagi ada rekapitulasi suara
ulang. Akibat kesalahan sepele tersebut, sidang pleno perhitungan suara yang
berlangsung di kantor Kecamatan Simokerto, Surabaya diskors hingga dua jam.
Kondisi di atas adalah salah satu contoh dari sekian banyak human eror yang dilakukan oleh Bawaslu.
Eksesnya, rekapitulasi suara ditahap selanjutnya kemudian juga menjadi
berlarut-laru.
Pembenahan KPUD
Sengkarut
yang terjadi pada rekapitulasi suara pileg, mulai dari tingkat KPPS hingga
tingkat KPU Nasional, mutlak tidak boleh terulang pada pilpres 2014 mendatang,
serta di pemilu-pemilu selanjutnya. Oleh sebab itu, profesionalisme dan independensi
penyelenggara pemilu, khususya di tingkat KPUD perlu mendapatkan perhatian
serius dari pemerintah. Seperti kita ketahui bersama, selama ini
profesionalisme para petugas di KPUD menjadi masalah utama yang menimbulkan
banyaknya gugatan dalam setiap penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah
(pemilukada). Kinerja KPUD yang tidak memuaskan menyebabkan pelanggaran pemilu
terjadi secara terstruktur, masif, dan sistematis. Berdasar data dari Mahkamah
Konstitusi (MK), jumlah gugatan pemilukada yang masuk secara keseluruhan
mencapai 615 perkara (periode September 2013). Jumlah tersebut bahkan lebih
banyak dari jumlah perkara pengujian undang-undang, yakni 613 perkara diperiode
yang sama. Jika pemerintah jeli maka itu sebenarnya adalah sebuah alarm pertanda
bahaya bagi pelaksanaan pileg dan pilpres 2014. Maka, penting sebenarnya bagi
pemerintah untuk mencermati kembali mekanisme dan standarisasi perekrutan
anggota-anggota KPUD di setiap daerah. Selain itu, proses perekrutan anggota
KPUD juga harus jauh dari intevensi politik pihak manapun. Dengan begitu, KPUD
akan memiliki independensi dan integritas politik yang kuat. Dalam konteks
pilpres 2014 mendatang, maka pembenahan (revitalisasi) KPUD hendaknya ditekankan
pada aspek profesionalisme kinerja mengingat banyaknya human eror yang terjadi di pileg. Simulasi dan pelatihan perlu
ditingkatkan meskipun dalam waktu yang sangat mendesak. Di sisi penegakkan
hukum, peran Bawaslu, MK dan aparat penegak hukum lain mutlak harus mendukung
kinerja penyelenggara pemilu. Dalam artian bahwa law enforcement harus bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku maupun
parpol yang melakukan kecurangan pemilu. Akhirnya, sekali lagi penyelenggaraan
pemilu di negara ini membutuhkan figur-figur profesional dan berkompeten agar
sengkarut di pileg tidak menular di pilpres. Dengan begitu, kepastian dan
stabilitas politik yang diharapkan publik dan para pelaku usaha dapat tercipta
lebih cepat. Semoga!
Dimuat dalam Opini Sinar Harapan edisi 14 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar