Memerangi Predator Seksual Anak



Dok. KR

Beberapa hari terakhir kasus kejahatan seksual pada anak begitu marak terjadi di negara ini. Kejahatan seksual pada anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual (Wikipedia). Kenyataan pahit ini membuktikan bahwa negara ini belum mampu memberikan perlindungan yang aman bagi calon penerus generasi bangsa. Celakanya, akibat isu koalisi dan segala macam urusan menjelang pemilu presiden (pilpres), solusi penyelesaian kejahatan seksual pada anak ini menjadi terbengkalai. Berkaca dari kasus-kasus yang terjadi dewasa ini, dapat disimpulkan bahwa kejahatan seksual pada anak bisa terjadi di mana saja, di sekolah maupun di ruang-ruang publik. Kasus kejahatan seksual di lingkungan Taman Kanak-kanak Jakarta International School (TK JIS), maupun kasus Andri Shobari alias Emon setidaknya menjadi bukti valid dari pernyataan tersebut. Tak kurang 5 (lima) anak telah menjadi korban kejahatan seksual di JIS, dan seiring berjalannya penyelidikan jumlah korban juga terus bertambah. Sementara, kasus Emon memberikan gambaran lain, betapa lebih mengerikan potensi kejahatan seksual yang mengancam diluar institusi pendidikan. Menurut data dari Polres Sukabumi, hingga kini korban kejahatan seksual Emon mencapai 73 orang anak. Belakangan, di Sumedang juga muncul kasus serupa dan diduga korbannya sudah mencapai belasan anak. 

Alarm Bahaya
            Masifnya kasus kejahatan seksual pada anak jelas tidak bisa disepelekan, karena sebenarnya hal ini merupakan alarm bahaya bagi masa depan anak-anak bangsa. Komnas Perlindungan Anak pada tahun 2012 mencatat bahwa terjadi 2.637 kasus kejahatan seksual pada anak, sedangkan ditahun 2013 data yang masuk menyebutkan bahwa terjadi 3.039 kasus terkait kejahatan seksual pada anak. Artinya, kasus kejahatan seksual yang dilakukan pada anak meningkat sangat signifikan hingga 87 %. Sebagai catatan, jumlah kasus sama sekali tidak mencerminkan jumlah korban maupun jumlah pelakunya. Dengan kata lain, dapat dipastikan bahwa jumlah korban maupun pelaku bisa lebih banyak dari jumlah kasus yang terjadi. Kajian menarik sekaligus memprihatinkan dari kasus ini yaitu kejahatan seksual yang menimpa anak seringkali malah dilakukan oleh orang-orang terdekat dan dipercaya. Pada periode Juni-Agustus 2003 dari 82 kasus kejahatan seksual pada anak, sebanyak 24,5% dilakukan oleh tetangga, 3,7% oleh pacar, 2,4% dilakukan oleh ayah tiri, dan 1,2% dilakukan oleh kakak ipar (Mukhotib, 2007). Maka menjadi penting untuk para orang tua agar lebih waspada dalam mengawasi pergaulan si anak dengan orang-orang terdekat keluarga, khususnya orang terdekat yang tidak termasuk keluarga inti.
Memperberat Hukuman

Setidaknya anak mempunyai empat hak dasar yang mutlak dipenuhi oleh negara, yakni hak untuk hidup layak, hak berpartisipasi, hak tumbuh dan berkembang, serta hak mendapatkan perlindungan. Di era kekinian, hak dasar anak yang disebut paling terakhir secara nyata belum direalisasikan dengan maksimal oleh negara ini. Buktinya, negara selalu bersikap lunak terhadap pelaku-pelaku kejahatan seksual yang pernah ada, sekalipun pelakunya adalah orang asing. Contohnya, kasus kejahatan seksual yang dilakukan oleh Jan Jacobus Vogel. Orang berpasport asli Belanda ini terbukti melakukan tindak pencabulan terhadap anak-anak di Bali, namun oleh Pengadilan Negeri (PN) Singaraja dia hanya dijatuhi hukuman 3 (tiga) tahun penjara. Oleh karena itu, agar kasus-kasus kejahatan seksual kepada anak tidak terjadi lagi, maka penting bagi pemerintah untuk memperkuat Undang-undang Perlindungan Anak (UU PA), baik dari sisi kontens (isi) maupun implementasi (penerapan) di lapangan. Seperti diketahui, hukuman maksimal untuk pelaku kejahatan seksual pada anak saat ini hanya 15 tahun penjara, padahal pelaku sebenarnya pantas untuk mendapatkan hukuman lebih dari itu mengingat akibat jangka panjang yang akan dialami si anak. Bahkan bila perlu, pemerintah juga menerapkan hukuman suntik kimia kebiri seperti yang telah diterapkan di Turki, Korea, dan Cina. Akhirnya, kepedulian orang tua dan law enforcement yang mampu menimbulkan efek jera menjadi dua instrumen penting agar anak-anak terhindar dari berbagai jenis kejahatan seksual. Maka sekali lagi, kesadaran orang tua dan sikap tanggap darurat pemerintah sangat diperlukan untuk menyelesaikan persoalan krusial ini.



Dimuat dalam Opini Kedaulatan Rakyat edisi 10 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar