Mencuatnya
kasus Satinah bertepatan dengan tahun pemilu, kembali membuka mata publik
mengenai pentingnya perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri.
Kondisi ini patut menjadi salah satu pertimbangan bagi masyarakat dalam
menentukan calon pemimpin masa depan negera ini, baik untuk calon pemimpin
legislatif maupun untuk calon presiden. Artinya, masyakat wajib memberikan
suaranya bagi calon pemimpin yang tegas dan responsif dalam menghadapi suatu
permasalahan. Menurut data dari Migran Care, yakni lembaga masyarakat yang
intens memberikan advokasi bagi TKI di luar negeri, penangangan kasus Satinah
ini tergolong lamban. Pasalnya, kasus pembunuhan yang menjerat Satinah terjadi
pada Juni 2007, dan baru diketahui oleh pemerintah pada tahun 2009. Isu lain
dari kasus ini yang memprihatinkan ialah, ketiadaan perwakilan dari Kedutaan
Besar Republik Indonesia (KBRI) di Arab Saudi yang mendampingi Satinah selama
masa persidangan. Pihak KBRI mulai membantu penangan kasus ini pada 2012, yakni
setelah Satinah sudah dijatuhi vonis mati. Satinah dinyatakan bersalah oleh
pengadilan Arab Saudi karena telah membunuh majikannya, yakni Nura Al Gharib.
Seperti kita ketahui, di Arab Saudi berlaku hukum Qisas yakni terdakwa yang
telah dijerat hukuman mati bisa saja diampuni asalkan keluarga korban
memaafkan. Meski begitu, permintaan maaf ini biasanya disertai dengan diyat
(denda). Pada kasus Satinah ini, keluarga korban bersedia untuk memaafkan dan
membebaskan Satinah dari hukuman pancung asalkan bersedia membayar diyat
sebesar 7,5 juta riyal atau setara dengan Rp 21 miliar.
Meski bisa dibilang pemerintah kurang responsif dalam menangani kasus Satinah,
namun kita patut memberikan apresiasi atas kerja keras dan kesungguhan
pemerintah dalam usaha pembebasan Satinah. Usaha-usaha itu diantaranya melalui
pengiriman surat dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada raja Arab Saudi
yang berisi permintaan penundaan eksekusi hukuman mati dan pengiriman tim
khusus yang dipimpin mantan Menteri Agama Maftuh Basyuni. Terbukti, kerja keras
dan kesungguhan pemerintah tersebut tidak sia-sia dan membawa hasil positif
meski didetik-detik akhir sebelum hukuman pancung dilaksanakan. Hanya saja,
kurangnya responsibilitas pemerintahan dalam menangani sebuah perkara patut
menjadi pembelajaran.
Perbaikan Bermakna
Menurut
hemat penulis, setidaknya ada empat potensi kerawanan yang mutlak harus
diperbaiki oleh pemerintah terkait persoalan TKI ini. Pertama, menjalankan tanggung jawab moral pembukaan Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945 kepada seluruh rakyat Indonesia secara menyeluruh. Di dalam
pembukaan UUD 1945, secara jelas diungkapkan bahwa negara memiliki kewajiban
untuk melindungi segenap rakyat Indonesia. Artinya, pemerintah memiliki
tanggung jawab moral untuk menyelamatkan setiap warga negara yang terjerat oleh
ancaman hukuman mati. Tanggung jawab moral inilah yang sering kali diabaikan
oleh pemerintah ketika para TKI terjerat persoalan hukum di luar negeri. Kedua, mengimplementasikan UU Nomor 39
tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan TKI secara jelas dan tegas.
Dalam tataran ini, pemerintah maupun perusahaan Pelaksana Penempatan Tenaga
Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) sering kali abai terhadap kewajiban TKI dalam
melakukan psikotes. Padahal psikotes sangat penting untuk mengetahui kondisi
mental seorang TKI ketika bekerja di luar negeri dan mendapatkan tekanan.
Dengan menjalankan psikotes pada TKI, kemungkinan keterlibatan TKI dalam
persoalan hukum sangat mungkin bisa dikurangi. Ketiga, menertibkan PPTKIS yang bermasalah. Dari 6 juta TKI yang
berkerja di luar negeri saat ini, sebanyak 1,7 juta adalah TKI yang tidak
mempunyai dokumen resmi. Mereka adalah korban dari maraknya keberadaan PPTKIS
bermasalah tersebut. Keempat, membuka
lapangan kerja seluas-luasnya. Sektor pertanian, kelautan dan hilirisasi
industri harus dioptimalkan. Indonesia mempunyai semua syarat untuk mewujudkan
hal tersebut. Hanya saja diperlukan kesungguhan kinerja pemerintahan untuk
menggandeng stake holder terkait.
Pemerintahan
pasca pemilu 2014 mendatang wajib mempunyai responsibilitas tinggi terhadap
suatu persoalan, termasuk dalam penanganan persoalan hukum TKI. Mereka adalah
pahlawan devisa yang sangat berjasa dalam membantu menggerakkan roda
perekonomian nasional. Tidak semestinya mereka mendapatkan perlakuan yang tidak
adil dan hanya menjadi objek eksploitasi semata. Pemerintah patut turut menjaga
keamanan dan keselamatan TKI, mulai berangkat dari Tanah Air hingga
menyelesaikan pekerjaannya dan kembali lagi ke kampung halaman. Bukan menjadi
rahasia lagi jika perlindungan TKI di negara ini sangat memprihatinkan.
Berbagai pungutan liar hingga pemerasan selalu membayangi para pahlawan devisa
negara ini. Demikian pula ketika berada di luar negeri, kekerasan dan
penganiayaan yang berpotensi mengancam keberlangsungan hidup mereka sering kali
ditemukan. Saluran-saluran inilah yang mesti diperbaiki oleh pemerintah. Jika
masyarakat beranggapan bahwa pemerintahan saat ini kurang tegas dan responsif
dalam menangani setiap persoalan hukum para TKI, maka di tahun pemilu inilah
kesempatan merubah keadaan terbuka lebar. Masyarakat patut mempergunakan hak
pilihnya sebaik mungkin. Harapannya jelas, yakni agar para pahlawan devisa bisa
bekerja dengan tenang dan terhindar dari hukuman mati seperti kasus yang
menimpa Satinah. Waallahu’alam bi ash-showwab!
Dimuat di kolom Opini Batam Pos edisi 7 April 2014
Wahh..keren mas.salut dech...karyanya dah bnyak..terus berkarya mas..
BalasHapusMakasih mas @Mansur mata Pena :D, mari menulis..untuk meramaikan forum "Kolumnis Muda Jogja"
BalasHapus