Satinah dan Perlindungan TKI Lainnya

( Doc. Batam Pos edisi 7 April 2014 )

Mencuatnya kasus Satinah bertepatan dengan tahun pemilu, kembali membuka mata publik mengenai pentingnya perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Kondisi ini patut menjadi salah satu pertimbangan bagi masyarakat dalam menentukan calon pemimpin masa depan negera ini, baik untuk calon pemimpin legislatif maupun untuk calon presiden. Artinya, masyakat wajib memberikan suaranya bagi calon pemimpin yang tegas dan responsif dalam menghadapi suatu permasalahan. Menurut data dari Migran Care, yakni lembaga masyarakat yang intens memberikan advokasi bagi TKI di luar negeri, penangangan kasus Satinah ini tergolong lamban. Pasalnya, kasus pembunuhan yang menjerat Satinah terjadi pada Juni 2007, dan baru diketahui oleh pemerintah pada tahun 2009. Isu lain dari kasus ini yang memprihatinkan ialah, ketiadaan perwakilan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Arab Saudi yang mendampingi Satinah selama masa persidangan. Pihak KBRI mulai membantu penangan kasus ini pada 2012, yakni setelah Satinah sudah dijatuhi vonis mati. Satinah dinyatakan bersalah oleh pengadilan Arab Saudi karena telah membunuh majikannya, yakni Nura Al Gharib. Seperti kita ketahui, di Arab Saudi berlaku hukum Qisas yakni terdakwa yang telah dijerat hukuman mati bisa saja diampuni asalkan keluarga korban memaafkan. Meski begitu, permintaan maaf ini biasanya disertai dengan diyat (denda). Pada kasus Satinah ini, keluarga korban bersedia untuk memaafkan dan membebaskan Satinah dari hukuman pancung asalkan bersedia membayar diyat sebesar 7,5 juta riyal atau setara dengan Rp 21 miliar.
           Meski bisa dibilang pemerintah kurang responsif dalam menangani kasus Satinah, namun kita patut memberikan apresiasi atas kerja keras dan kesungguhan pemerintah dalam usaha pembebasan Satinah. Usaha-usaha itu diantaranya melalui pengiriman surat dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada raja Arab Saudi yang berisi permintaan penundaan eksekusi hukuman mati dan pengiriman tim khusus yang dipimpin mantan Menteri Agama Maftuh Basyuni. Terbukti, kerja keras dan kesungguhan pemerintah tersebut tidak sia-sia dan membawa hasil positif meski didetik-detik akhir sebelum hukuman pancung dilaksanakan. Hanya saja, kurangnya responsibilitas pemerintahan dalam menangani sebuah perkara patut menjadi pembelajaran.
Perbaikan Bermakna
Menurut hemat penulis, setidaknya ada empat potensi kerawanan yang mutlak harus diperbaiki oleh pemerintah terkait persoalan TKI ini. Pertama, menjalankan tanggung jawab moral pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 kepada seluruh rakyat Indonesia secara menyeluruh. Di dalam pembukaan UUD 1945, secara jelas diungkapkan bahwa negara memiliki kewajiban untuk melindungi segenap rakyat Indonesia. Artinya, pemerintah memiliki tanggung jawab moral untuk menyelamatkan setiap warga negara yang terjerat oleh ancaman hukuman mati. Tanggung jawab moral inilah yang sering kali diabaikan oleh pemerintah ketika para TKI terjerat persoalan hukum di luar negeri. Kedua, mengimplementasikan UU Nomor 39 tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan TKI secara jelas dan tegas. Dalam tataran ini, pemerintah maupun perusahaan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) sering kali abai terhadap kewajiban TKI dalam melakukan psikotes. Padahal psikotes sangat penting untuk mengetahui kondisi mental seorang TKI ketika bekerja di luar negeri dan mendapatkan tekanan. Dengan menjalankan psikotes pada TKI, kemungkinan keterlibatan TKI dalam persoalan hukum sangat mungkin bisa dikurangi. Ketiga, menertibkan PPTKIS yang bermasalah. Dari 6 juta TKI yang berkerja di luar negeri saat ini, sebanyak 1,7 juta adalah TKI yang tidak mempunyai dokumen resmi. Mereka adalah korban dari maraknya keberadaan PPTKIS bermasalah tersebut. Keempat, membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Sektor pertanian, kelautan dan hilirisasi industri harus dioptimalkan. Indonesia mempunyai semua syarat untuk mewujudkan hal tersebut. Hanya saja diperlukan kesungguhan kinerja pemerintahan untuk menggandeng stake holder terkait.
Pemerintahan pasca pemilu 2014 mendatang wajib mempunyai responsibilitas tinggi terhadap suatu persoalan, termasuk dalam penanganan persoalan hukum TKI. Mereka adalah pahlawan devisa yang sangat berjasa dalam membantu menggerakkan roda perekonomian nasional. Tidak semestinya mereka mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan hanya menjadi objek eksploitasi semata. Pemerintah patut turut menjaga keamanan dan keselamatan TKI, mulai berangkat dari Tanah Air hingga menyelesaikan pekerjaannya dan kembali lagi ke kampung halaman. Bukan menjadi rahasia lagi jika perlindungan TKI di negara ini sangat memprihatinkan. Berbagai pungutan liar hingga pemerasan selalu membayangi para pahlawan devisa negara ini. Demikian pula ketika berada di luar negeri, kekerasan dan penganiayaan yang berpotensi mengancam keberlangsungan hidup mereka sering kali ditemukan. Saluran-saluran inilah yang mesti diperbaiki oleh pemerintah. Jika masyarakat beranggapan bahwa pemerintahan saat ini kurang tegas dan responsif dalam menangani setiap persoalan hukum para TKI, maka di tahun pemilu inilah kesempatan merubah keadaan terbuka lebar. Masyarakat patut mempergunakan hak pilihnya sebaik mungkin. Harapannya jelas, yakni agar para pahlawan devisa bisa bekerja dengan tenang dan terhindar dari hukuman mati seperti kasus yang menimpa Satinah. Waallahu’alam bi ash-showwab!


Dimuat di kolom Opini Batam Pos edisi 7 April 2014

2 komentar:

  1. Wahh..keren mas.salut dech...karyanya dah bnyak..terus berkarya mas..

    BalasHapus
  2. Makasih mas @Mansur mata Pena :D, mari menulis..untuk meramaikan forum "Kolumnis Muda Jogja"

    BalasHapus