![]() |
(Doc. annasaja.blogspot.com) |
Penyelenggaraan
pendidikan tahun ajaran 2013/ 2014 akan segera memasuki tahapan akhir. Sebanyak
3 juta siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat, pada pekan ini akan
mulai mengikuti Ujian Nasional (UN) sebagai salah satu syarat untuk menempuh
kelulusan. UN merupakan bagian dari penyelenggaraan pendidikan yang didasarkan
pada pasal 35 ayat (1) UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas). Lebih jauh lagi, penyelenggaraan UN ini dipertegas
melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 32 tahun 2013 pasal 67, yakni
pemerintah menugaskan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) untuk
menyelenggarakan UN bagi pendidikan dasar dan menengah kecuali SD/ MI/ SDLB. Di
negara ini, UN memang masih dianggap sebagai cara terbaik untuk mengukur
kualitas siswa. Maka tak heran, jika kemudian UN masih menjadi rutinitas yang
wajib dilakukan disetiap akhir tahun ajaran. Parahnya, kondisi ini seringkali
malah dimanfaatkan oleh oknum di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud), pejabat dinas, kepala sekolah, maupun guru untuk mengeruk
keuntungan pribadi. Mark up anggaran,
jual beli jawaban, dan penawaran bocoran soal seringkali mewarnai setiap
penyelenggaraan UN.
Sejatinya,
UN dimaksudkan untuk mencapai standar minimum kemampuan yang harus dikuasai
siswa pada tingkatan tertentu. Namun, kurangnya persiapan dan kemampuan (capability) penyelenggara seringkali
malah menimbulkan berbagai macam persoalan. Belum lagi, potensi ancaman dari
luar (eksternal) yang tak kalah berbahaya bagi keberlangsungan dan kualitas UN
itu sendiri. Jika kita kaji lebih mendalam, maka ada tiga hal pokok yang patut
kita perbaiki terkait penyelenggaran UN ini. Pertama, memperbaiki proses
distribusi soal agar tiba tepat waktu. Masih ingat jelas dibenak penulis,
betapa penyelenggaran UN tahun lalu dibeberapa daerah menjadi kacau hanya
karena distribusi soal UN yang sampai tidak tepat waktu. Kala itu sebelas
provinsi yakni, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah,
Gorontalo, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, harus
mengundurkan pelaksanaan UN karena belum menerima paket soal dari pusat. Kondisi
ini jelas membuat konsentrasi dan psikologis siswa menjadi runtuh. Eksesnya,
tentu saja berimbas langsung pada nilai UN yang jeblok. Dari hasil pemeriksaan
tim audit Kemendikbud, lemahnya manajerial di Kemendikbud, manajerial
percetakan, dan kurang baiknya pengawasan di percetakan menjadi faktor utama
penyebab keterlambatan distribusi soal UN ke setiap daerah. Oleh sebab itu,
penting untuk memilih orang-orang yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas
mumpuni agar manajerial di sektor-sektor yang tergolong vital tersebut tidak
amburadul seperti tahun-tahun sebelumnya.
Kedua,
meningkatkan kualitas dan efektivitas pengamanan soal UN. Berkaca dari penyelenggaraan
UN tahun lalu, menjaga kerahasiaan soal UN agar tidak bocor masih saja menjadi
salah satu kendala utama bagi terciptanya UN yang jujur dan berkualitas. Harus
diakui, proses yang harus dilalui sebelum soal sampai ditangan para siswa
memang memerlukan proses yang cukup panjang. Karena itu, penting bagi
Kemendikbud, Kepolisian, Dinas Pendidikan baik di provinsi maupun kabupaten,
Perguruan Tinggi (PT), serta Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) untuk
lebih meningkatkan kerja sama terkait peningkatan efektivitas keamanan soal UN.
Tujuannya jelas, yakni agar kerahasian soal UN tetap terjaga hingga nanti
sampai ketangan siswa. Lebih jauh lagi, lembaga-lembaga tersebut juga harus
mampu meyakinkan keamanan dan kerahasiaan soal UN terjaga sepenuhnya kepada
siswa. Dengan begitu, siswa akan meyakini bahwa kunci jawaban yang sering
beredar pada saat penyelenggaraan UN
hanyalah kunci jawaban palsu. Sehingga, membeli kunci jawaban tersebut
hanya akan merugikan diri sendiri, bahkan bisa saja malah menyebabkan siswa
menjadi tidak lulus.
Ketiga, memperbaiki efektivitas pengawasan
pelaksanaan UN di sekolah. Bukan menjadi rahasia lagi jika setiap sekolah
menginginkan seluruh siswanya bisa lulus dalam mengikuti UN. Jika tidak mampu
meluluskan seluruh siswanya, maka dikhawatirkan akan berdampak pada penurunan
jumlah siswa yang mendaftar di sekolah tersebut. Maka tak heran, jika kemudian
banyak oknum guru maupun kepala sekolah (Kepsek) yang ikut membantu mengerjakan
soal UN secara diam-diam dan memberikan jawabannya kepada siswa. Kecurangan
tersebut jelas tak sesuai dengan misi pendidikan yakni menciptakan manusia
Indonesia yang cerdas dan berakhlak mulia. Tugas para guru sejatinya ialah
mempersiapkan siswa sebaik mungkin, yakni dengan menerapkan berbagai metode
ajar sehingga siswa benar-benar mampu memahami materi ajar secara menyeluruh. Pada
tataran ini, pengawas UN mutlak memberikan sanksi yang tegas jika ada oknum
guru maupun kepsek yang terindikasi melakukan kecurangan tersebut. Bahkan bila
perlu, dilakukan pemecatan secara tidak
hormat dari kedinasan bagi oknum-oknum guru maupun kepsek yang terbukti
tertangkap tangan melakukan kecurangan dalam UN. Akhir kata, evaluasi terhadap
keseluruhan penyelenggaraan pendidikan seperti yang telah diamanatkan pada
pasal 57 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas mutlak selalu dilakukan, tak
terkecuali untuk penyelenggaraan UN ditahun ini. Setiap langkah evaluasi
hendaknya didasarkan pada prinsip untuk mencapai sesuatu yang lebih baik dari
sebelumnya. Dengan begitu, kualitas pendidikan di negara ini akan semakin baik
dari waktu ke waktu. Semoga!.
Dimuat di Opini Batam Pos edisi 15 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar