![]() |
(Doc. Batam Pos edisi 1 April 2014) |
Hampir dua pekan kampanye pemilu
legislatif (Pileg) telah bergulir, satu per satu kampanye hitam (black campaign) mulai menyeruak ke
permukaan. Tak tangung-tanggung, salah satu kandidat calon presiden 2014, yakni
Aburizal Bakrie (ARB) langsung terkena imbas dari black campaign ini. Beberapa kalangan di internal partai
pengusungnya, yakni Partai Golkar berharap agar ARB mengevaluasi pencapresannya
di pemilu 2014. Beberapa kalangan di internal partai tersebut mempermasalahkan
tentang video plesiran ARB dengan dua artis kakak beradik Marcela dan Olivia
Zalianty yang sedang berlibur ke Maladewa. Terlepas tujuan sesungguhnya dari
plesiran ARB, Marcela dan Olivia Zalianty ke Maladewa, video yang beredar
ditengah masa kampanye ini jelas merupakan salah satu bentuk kampanye hitam
untuk menjatuhkan ARB sebagai capres dan merongrong suara Golkar di pemilu
legislatif.
Namun jika kita cermati secara seksama, isu kampanye hitam ini
terlebih dulu telah menyerang capres yang diusung PDI P, yakni Joko Widodo atau
yang lebih familiar dipanggil Jokowi. Pasca pencapresan Jokowi, beberapa isu
tentang “pengkhiatan” Jokowi pada Jakarta mulai menyeruak. Padahal jika kita
mencermati sumpah jabatan yang diucapkan Jokowi ketika dilantik sebagai
Gubernur Jakarta, tidak ada etika maupun Undang-Undang yang dilanggar oleh
Jokowi. Artinya, pencapresan Jokowi adalah imbas dari prestasi kerja seorang
Jokowi yang juga diamini oleh rakyat sehingga tidak mungkin terelakkan lagi
untuk diajukan sebagai capres. Kampanye hitam atau black campaign memang masih dipandang sebagai jurus ampuh untuk
menjatuhkan lawan politik dalam perebutan kursi kekuasaan. Untuk mewujudkan
ambisi merengkuh kekuasaan politik tersebut, para elite politik yang bertarung
rela melakukan cara-cara yang tidak sehat seperti memunculkan fitnah dan
berbagai berita bohong untuk menjatuhkan citra lawan politiknya. Isu-isu yang
dijual dalam kampanye hitam, seringkali juga sangat vulgar bahkan cenderung
amoral karena tidak mempertimbangkan aspek suku, ras, dan antar golongan
(SARA). Pada intinya, apapun yang bernilai negatif dan dapat menjatuhkan citra
lawan politiknya bisa dijadikan modal untuk melakukan kampanye hitam. Fenomena
ini menunjukkan bahwa etika berpolitik para politikus dan pendukungnya masih
buruk serta tidak siap menerima kekalahan politik. Kondisi ini bisa saja
memunculkan kerawanan gangguan pasca pemilu legislatif maupun pasca pilpres.
Maka tak heran jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam satu
kesempatan pernah mewanti-wanti agar semua pihak benar-benar menjauhi praktik
kampanye hitam. Selain itu, Presiden SBY juga pernah berpesan agar masyarakat
waspada dan bisa memilah pesan politik yang berupa fakta sesungguhnya, dan
pesan politik yang hanya merupakan black
campaign.
Pisau
Bermata Dua
Dalam praktiknya, harus diakui bahwa kampanye hitam memang sangat efektif untuk
menjatuhkan citra seseorang. Lebih jauh lagi, kampanye hitam juga mampu
membunuh karakter dan bahkan sampai menamatkan karier politik seseorang. Maka
tak heran jika kemudian kampanye hitam hingga kini masih menjadi jurus
“rahasia” bagi mereka yang berkecimpung dalam percaturan politik kekinian.
Ketika citra lawan politik jatuh, maka hal ini akan diikuti dengan sentimen
negatif dari masyarakat. Pada akhirnya, karier politik akan mati karena ditinggalkan
oleh konstituennya. Masih maraknya kampanye hitam pada kampanye pemilu 2014
ini, jelas merupakan kenyataan yang cukup pahit dan memprihatinkan bagi
perkembangan demokrasi nasional. Pasalnya, masyarakat disuguhi berbagai
informasi yang menyesatkan sebagai bahan pertimbangan untuk memilih. Pada
tataran ini, masyarakat dihadirkan banyak sekali hal-hal negatif terkait figur
politik maupun sisi negatif dari partai politik peserta pemilu. Sehingga, ekses
dari kampanye hitam ini jika dianalogikan seperti pisau bermata dua, yakni akan
menyerang figur politik maupun parpol tempatnya bernaungnya, serta akan
menguatkan publick distrust dan apatisme publik pada politik. Para elite
politik seharusnya sadar betul akan resiko dari kampanye hitam ini. Oleh sebab
itu, penting bagi elite politik untuk memberikan pendidikan politik yang
bernalar sehat bagi tim sukses maupun konstituennya. Pendidikan politik harus
dipandang sebagai suatu kewajiban moral, tidak lagi sebagai hak atau sekedar
pelengkap dalam pidato kampanye semata. Tanggung jawab moral ini tentu harus
dijalankan dengan metode dan strategi yang sistematis. Artinya, perlu sebuah
contoh nyata dari para calon pemimpin dan elite poltik untuk menunjukkan
tanggung jawab turut menyelenggarakan kampanye dengan bersih dan sehat tanpa
embel-embel jurus “rahasia”. Dalam hal ini jurus “rahasia” adalah kampanye
hitam yang mulai dipergunakan ketika sudah merasa terdesak, sehingga berfikir
untuk membunuh karakter lawan politiknya melalui cara-cara yang tidak sehat.
Idealnya, potensi munculnya kampanye hitam pada pemilu kali ini sudah diatasi
sejak jauh-jauh hari. Karena, bukan menjadi rahasia umum lagi jika parpol
maupun elite politik di negara ini gemar melakukan kampanye hitam. Terlebih
lagi di era multimedia seperti sekarang ini, dimana media sosial telah
berkembang begitu pesat menjadi media paling efektif untuk berkomunikasi.
Imbasnya, kampanye hitam seolah malah mendapatkan tempat untuk berkembang biak
dengan leluasa. Hal inilah yang seharusnya diantisipasi dan diatasi melalui
implementasi peraturan yang jelas dan sanksi yang tegas. Oleh sebab itu, patut
rasanya celah-celah yang ada pada undang-undang yang mengatur tentang
pelarangan melakukan kampanye hitam dievaluasi agar implementasinya bisa benar-benar
efektif dan efisien. Sehingga, pemimpin dan parpol pemenang pemilu mendatang
adalah mereka yang benar-benar melakukan praktik politik secara santun, sehat,
dan bersih. Semoga!
Dimuat di kolom Opini Batam Pos edisi 1 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar