Kesesatan Demokrasi Partai Politik





Beberapa hari terakhir, media massa ramai memberitakan konflik yang terjadi di internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Konflik bermula dari kehadiran Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali (SDA) dalam kampanye Partai Gerindra di Pemilu Legislatif (Pileg) lalu. Bagi masyarakat awam, kehadiran SDA dalam kampanye Partai Gerindra tersebut jelas mengisyaratkan kemana langkah PPP nantinya setelah pileg. Namun bagi sebagian elite PPP, kehadiran SDA dalam acara tersebut dianggap sebagai bentuk “perselingkuhan” politik. Dari sisi etika partai, mungkin saja hal itu dapat dibenarkan. Karena kala itu masih dalam masa kampanye pileg, berbeda kondisinya jika PPP telah resmi berkoalisi dengan Partai Gerindra, dan SDA turut menghadiri kampanye yang digelar oleh partai politik (parpol) tersebut. 


       Setelah pileg selesai, konflik bukannya mereda, tetapi malah terjadi sebaliknya. Kubu SDA melalui surat yang ditandatangani SDA selaku ketua umum dan wakil sekretaris jenderal DPP PPP Syaifullah Tamliha, malah mengeluarkan surat pemecatan kepada beberapa pengurus partai. Surat pemecatan tertanggal 16 April 2014 tersebut, menyebutkan beberapa pengurus partai yang dipecat yakni Wakil Ketuam Umum Suharso Monoarfa, Sekjen Romahurmuziy (Rommy), dan beberapa ketua DPP serta DPW. Konflik internal ditubuh PPP inipun terus berlanjut, aksi pemecatan yang dilakukan kubu SDA kemudian dibalas oleh kubu Rommy dengan menggelar Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas). Rapimnas tersebut digelar pada 20 April 2014, dan hasilnya memutuskan untuk memberhentikan sementara SDA dari posisi ketua umum. Meskipun bersifat internal, namun kasus ini dapat memberikan sedikit gambaran bagi masyarakat betapa buruknya komunikasi politik antar petinggi partai di negara ini. Visi, misi, dan platform partai bisa dengan mudah diabaikan hanya demi meloloskan kepentingan pribadi atau segelintir elite partai. Benar apa yang pernah dikatakan oleh Harold D Laswell, politik adalah masalah siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana. Kondisi ini seakan meniscayakan bahwa partai hanya merupakan kendaraan politik saja. Ketika tujuan telah dekat, maka tak penting lagi untuk memikirkan visi, misi, maupun platform yang telah disepakati bersama. Pada akhirnya, jika tidak ditangani dengan upaya serius dan kesadaran etika berpolitik secara santun, maka dapat dipastikan perpecahanlah yang akan terjadi.
Ironi Politik
Kasus yang sedang menimpa partai berlambang Ka’bah ini bisa dikatakan merupakan ironi politik demokrasi ditengah-tengah masa mencari koalisi ideal. Ironi politik biasanya berakhir dengan sifat ambivalensi dan paradoks yang menggiring pada dualisme (dualism) dalam setiap tindakan, berfikir, dan gaya hidup. Singkat kata, ironi politik ini menciptakan para politikus yang bermuka dua (janus face), maka tak heran jika antar elite politik itu sendiri sering terjadi pertikaian demi ambisi pribadi maupun kelompok tertentu. Pada tataran ini, ada tiga ironi politik dalam demokrasi kekinian yang menarik untuk dikaji dan bisa menjadi pembelajaran publik serta partai politik khususnya. Pertama, ironi kegagalan partai dalam menyerap aspirasi rakyat difase koalisi. Jika memang pada akhirnya PPP tidak bisa berpartisipasi dalam pilpres 2014, maka jelas aspirasi rakyat yang dititipkan melalui partai itu hanya sia-sia belaka. Jangan dilupakan, bahwa didalam proses koalisi sebenarnya juga terdapat aspirasi rakyat di dalamnya. Oleh karena itu, penting bagi semua parpol, dan PPP khususnya untuk memperbaiki komunikasi politik antar petinggi di internal partai. Sehingga, parpol dapat menyalurkan aspirasi rakyat melalui koalisi yang sesuai dengan kehendak rakyat.
Kedua, wujud pragmatisme politik dan egoisme petinggi parpol. Harus diakui, memang demikianlah adanya wajah-wajah elite politik kita saat ini. Idiom harta, tahta, dan wanita masih erat melekat didalam pola pikir mereka. Akhirnya, lagi-lagi suara rakyat hanya dimanfaatkan untuk meraih kursi kekuasaan semata. Maka tak heran jika kemudian apatisme publik pada elite parpol maupun pada parpol itu sendiri terus menguat saat ini. Ketiga, ironi buruknya manajerial petinggi parpol dalam mengelola partainya. Idealnya, konflik internal dapat tersimpan rapat dan dapat diselesaikan sebelum menjadi konsumsi publik. Akan tetapi tidak demikian di negara ini. Seringkali konflik internal yang melibatkan petinggi parpol berakhir dengan berpindahnya salah satu petinggi parpol ke parpol lain, bahkan terkadang malah membentuk parpol baru. Kondisi itu membuktikan betapa buruknya manajerial parpol dalam menangani setiap persoalan internalnya. Karena itu, penting untuk membangun sebuah manajerial parpol yang mumpuni, sehingga persoalan internal maupun eksternal parpol dapat terselesaikan dengan baik.
       Ironi politik secara nyata telah menghamparkan sebuah ruang absurditas politik yang di dalamnya tercipta berbagai kehampaan makna politik, ketiadaan nilai politik, ketidakpastian tujuan politik, dan pengaburan komunikasi politik. Konflik internal yang terjadi di beberapa parpol belakangan ini semakin menegaskan bahwa ironi politik telah mengaburkan makna demokrasi yang digagas dengan sangat baik oleh Abraham lincoln (1860-1865). Elite parpol sudah tidak lagi peduli dengan tujuan mereka membangun parpol. Mereka lebih mementingkan egoisme dan pragmatisme berpolitik dari pada memikirkan aspirasi rakyat. Oleh sebab itu, penting bagi publik untuk mendorong agar elite parpol kembali menyadari tujuan awal mereka membangun partai dan lebih mengedepankan kebesaran jiwa dari pada sekedar egoisme meraih keuntungan pribadi. Dengan begitu, konflik internal yang membayangi setiap parpol di fase krusial koalisi ini bisa ditekan sekecil mungkin. 
Dimuat di kolom Opini Lampung Post edisi 29 April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar