Nalar Politik Mempresidenkan Jokowi

(Doc. Boyolali Pos)


Magis Jokowi benar-benar sedang melanda negeri ini. Imbasnya, pencalonan figur orang yang sering “blusukan” ini  menjadi calon presiden (capres) oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) tak bisa terelakkan lagi. Melalui secarik kertas bertuliskan tangan dan bertanda tangan Megawati, Jokowi resmi didaulat sebagai capres dari partai berlambang banteng ini. Beberapa saat setelah pengumuman resmi pencapresan Jokowi, sentimen positif langsung mempengaruhi pasar perekonomian nasional.  Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melonjak 3,22% ke 4.878,64 sementara itu net buying asing melonjak ke Rp 7,5 triliun, sedangkan volume perdagangan menembus Rp 15,9 triliun. Bahkan Jokowi Effect ini juga mampu membuat nilai tukar rupiah menguat atas mata uang dolar AS, yakni dari level Rp 11.400,00 per dolar AS ke level Rp 11.255,00 per dolar AS.

Elektabilitas dan popularitas mantan wali kota Solo ini memang tidak tertandingi oleh figur politik dari parpol manapun. Hal ini disebabkan dia melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin. Dia menawarkan pola kepemimpinan yang tidak lazim. Kekuatan terbesar dari pola kepemimpinan Jokowi ini ialah kesediaannya hadir di tengah-tengah warga untuk melihat, menyapa, dan mendengar berbagai problema sosial ekonomi yang ada. Hal lain yang patut diapresiasi dari pencapresan Jokowi ini ialah sikap kenegarawanan sejati yang ditunjukkan oleh Megawati. Trah keluarga Soekarno ini dengan legowo memberikan mandat politik kepada Jokowi untuk maju sebagai capres PDI P pada pilpres 2014. Padahal sebagai ketua umum (ketum) partai besar dan masih memiliki pengaruh kuat di masyarakat, Megawati tentu masih berpeluang maju sebagai capres sebagaimana ketum partai-partai lain. Meski demikian, dengan strategi politik yang diusung saat ini nama Megawati jelas tidak akan meredup dari kancah politik nasional. Kebesaran hati Megawati malah diyakini oleh publik akan membawa namanya semakin disegani dikancah politik nasional.
Mitos Popularitas
            Harus diakui, penunjukkan Jokowi sebagai capres dari PDI P adalah imbas dari popularitasnya yang begitu signifikan. Selain itu, figur Jokowi juga dipandang mampu menjaga elektabilitas partai berlambang banteng ini. Secara tidak langsung hal ini menunjukkan bahwa figur populer masih lebih diutamakan dari pada figur yang memiliki kualitas. Dalam tataran ini, kemampuan Jokowi dalam mengelola DKI Jakarta masih belum terbukti secara penuh. Buktinya, masyarakat Jakarta masih sering berkeluh kesah dengan masalah banjir maupun masalah macet. Lebih dari itu, pengelolaan tata kota di Jakarta juga masih semrawut, proyek bus way juga dipandang masyarakat belum memuaskan. Bahkan program unggulan Jokowi pada masa pilgub lalu yakni Kartu Jakarta Sehat, secara nyata juga belum bisa memberikan kepuasan kepada masyarakat Jakarta. Dengan kata lain, kualitas kepemimpinan Jokowi selama 17 bulan di Jakarta memang belum membuktikan kemampuan dia yang sesungguhnya. Hal ini menunjukkan bahwa legitimasi mitos popularitas masih dianggap penting bagi partai politik. Senada dengan hal ini, Arianto (2014) memaparkan bahwa kultur politik modern terbukti masih memberikan ruang lebar bagi terciptanya legitimasi mitologis. Maka tidak heran jika kemudian banyak partai politik meminang anggota calon legislatif (caleg) dari kalangan artis yang notabene sudah memiliki popularitas mumpuni. Dalam hal ini, jika kemudian Jokowi terpilih sebagai RI 1, maka Jokowi harus mampu mendobrak mitologis popularitas tersebut. Artinya, Jokowi harus mampu menunjukkan bahwa keterpilihannya sebagai RI 1 tidak semata-mata adalah karena popularitasnya saja.
Kejenuhan Politik
Peluang mempresidenkan Jokowi pada pemilu 2014 memang sangatlah besar, apalagi petahana sudah tidak bisa maju pilpres untuk ketiga kalinya. Kondisi ini memberikan insentif elektoral yang positif bagi capres-capres baru pemilu 2014 termasuk untuk Jokowi sendiri, karena suara petahana akan mengalir pada capres baru. Hal inilah yang seharusnya mampu dicermati oleh PDI P dalam mengusung strategi politik yang tepat. Artinya, diperlukan sebuah strategi politik yang tepat untuk mengamankan suara dari pendukung sendiri sekaligus mampu menyedot suara dari petahana. Insentif elektoral dari petahana tentu tidak bisa disepelekan, mengingat perolehan suara yang cukup signifikan pada pemilu 2009 lalu. Disisi lain, sebenarnya Jokowi juga diuntungkan karena posisinya sebagai capres yang berasal dari masyarakat sipil. Pada tataran ini, Jokowi diuntungkan oleh rasa jenuh masyarakat atas kepemimpinan Presiden SBY yang notabene berasal kalangan militer. Presiden SBY telah memimpin negara ini kurang lebih selama 10 tahun, yakni selama 2 (dua) kali periode pemerintahan. Karena itu, kerinduan akan suasana politik yang baru tak ayal muncul dengan sendirinya kepermukaan. Kejenuhan politik jelas berimplikasi negatif pada pesta demokrasi. Oleh sebab itu, kita semua tentu berharap agar kehadiran Jokowi sebagai capres bisa memberikan implikasi positif akan lahirnya suasana politik yang baru. Implikasi positif yang dimaksud ialah peningkatan partisipasi aktif masyarakat dalam pemilu. Akhirnya, yang terpenting dari proses panjang demokrasi ini ialah harus mampu menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan mumpuni, tidak hanya sekedar pemimpin yang populer belaka. Waallahu’alam bi ash-showwab!

Dimuat dalam kolom Opini Serambi Indonesia edisi 30 April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar