![]() |
( radaronline.co.id ) |
Dua
pekan kampanye pemilu legislatif berlangsung, praktik politik uang (politik
transaksional) mulai kentara terlihat. Argumen yang dipakai oleh calon
legislatif (caleg) dalam melakukan praktik ini seringkali bermacam-macam,
diantaranya sebagai pengganti uang transport, uang makan, bahkan pernah suatu
kali ada caleg yang membagikan uang setelah sosialisasi pemilu dengan argumen
bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Praktik politik uang yang sedemikian
vulgar seperti ini, seharusnya mampu dengan mudah ditindak dan diberikan sanksi
oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sehingga, potensi praktik politik uang
yang akan dilakukan oleh caleg-caleg lain bisa diminimalisasikan. Faktanya,
mendekati pemilu legislatif 9 April
mendatang, praktik politik “wani piro”
ini malah semakin mewabah. Hal ini sejalan dengan hasil survei yang dilakukan
Lembaga Survei Nasional (LSN) yang dirilis pada tanggal 25 Maret 2014 lalu.
Dari hasil survei tersebut disimpulkan bahwa praktik politik uang masih sangat mungkin terjadi pada pemilu 2014, baik untuk pemilu legislatif (pileg) maupun untuk pemilu presiden (pilpres). Masih menurut hasil survei, sebanyak 69,1% responden mau menerima pemberian uang baik dari partai politik (parpol) maupun dari calon legislatif (caleg). Sementara, 30,9% responden lainnya secara tegas menolak praktik pemberian uang dari caleg maupun parpol. Kondisi ini jelas menggambarkan betapa politik transaksional masih menjadi wabah mematikan bagi proses demokrasi kekinian.
Dari hasil survei tersebut disimpulkan bahwa praktik politik uang masih sangat mungkin terjadi pada pemilu 2014, baik untuk pemilu legislatif (pileg) maupun untuk pemilu presiden (pilpres). Masih menurut hasil survei, sebanyak 69,1% responden mau menerima pemberian uang baik dari partai politik (parpol) maupun dari calon legislatif (caleg). Sementara, 30,9% responden lainnya secara tegas menolak praktik pemberian uang dari caleg maupun parpol. Kondisi ini jelas menggambarkan betapa politik transaksional masih menjadi wabah mematikan bagi proses demokrasi kekinian.
Kajian yang lebih menarik dari
survei LSN ini ialah, bahwa publik telah lebih cerdas dalam menanggapi praktik
politik uang yang dilakukan caleg maupun parpol. Dari mayoritas publik yang mau
menerima pemberian uang, ternyata sebanyak 41,5% akan menerima uang yang
diberikan caleg maupun parpol, tetapi tidak akan mempengaruhi pilihan mereka
nantinya. Artinya, ada harapan bahwa praktik politik uang tidak akan
berpengaruh signifikan terhadap hasil pemilu. Masyarakat akan tetap condong
kepada caleg dan parpol yang mempunyai visi serta misi yang jelas dan tegas
bagi kesejahteraan rakyat. Harapan ini seyogianya dapat dioptimalkan oleh
penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memutus habis
mata rantai praktik politik uang. Idiom selama ini, caleg dan parpol masih
meyakini bahwa politik uang masih efektif sebagai jalan pintas memenangi
pemilu. Karena itu, KPU tidak perlu ragu “menyisipkan” data-data terkait
praktik politik uang yang kini sudah tidak lagi efektif untuk memenangi pemilu
dalam setiap sosialisasinya. Meskipun tabu, akan tetapi hal ini tak salah
rasanya untuk dicoba demi terciptanya praktik demokrasi yang sehat dan bersih.
Pelarangan dan sanksi terkait praktik politik uang secara nyata belum
menunjukkan hasil yang signifikan. Oleh sebab itu, upaya preventif dari dalam
diri caleg dan parpol melalui hal-hal kecil seperti itu layak untuk dicoba.
Dengan data dan fakta yang mendukung, lambat laun caleg dan parpol tentu dengan
sendirinya akan meninggalkan praktik politik uang karena dirasa sudah tidak
menguntungkan lagi.
Celah Kerawanan
Kondisi
masyarakat saat ini, secara nyata masih menyediakan celah besar bagi
keberlangsungan praktik politik uang. Ada empat hal yang bisa ditelaah terkait
celah besar yang menimbulkan praktik politik uang ini tetap tumbuh subur di
masyarakat. Pertama, anggapan bahwa
pemilu adalah waktu bagi masyarakat untuk “mengeruk” keuntungan sesaat. Kondisi
ekonomi masyarakat yang semakin sulit, dan tingkat kesejahteraan yang tak
kunjung membaik, menciptakan saluran-saluran bagi masyarakat untuk mendapatkan
uang secara mudah. Kedua, paradigma
bahwa pemilu adalah waktu bagi masyarakat untuk “membalas dendam” kepada para
wakil rakyat dan parpol karena selama ini tidak mampu menyalurkan aspirasi
rakyat dengan baik. Mahalnya biaya hidup, mulai dari biaya pendidikan,
kesehatan sampai biaya pemenuhan kebutuhan sehari-hari dipandang masyarakat
sebagai imbas ketidakpekaan wakil rakyat dalam menyalurkan aspirasi. Anggapan
lain ialah bahwa para wakil rakyat hanya mementingkan kepentingan dirinya
sendiri dan golongannya saja, sehingga kepentingan rakyat menjadi terabaikan.Ketiga, masyarakat menganggap hak pilih itu adalah
aset yang berharga. Sehingga, siapapun yang menginginkannya harus mengeluarkan
biaya yang sepadan. Tak tanggung-tanggung, paradigma ini bahkan berpotensi
meningkatkan angka golput. Karena, ketika harga yang diinginkan atas “aset”
tersebut tidak sesuai, maka masyarakat cenderung tidak akan menggunakan hak
pilihnya itu. Keempat, keengganan
masyarakat dalam berpartisipasi sebagai pemilih aktif. Harus diakui, masyarakat
sudah mulai jenuh dengan kondisi politik yang tak juga bisa melahirkan pemimpin
yang mampu menyejahterakan rakyat secara lahir maupu batin. Dengan kata lain,
sulit menemukan caleg yang mempunyai kapabilitas dan kredibilitas yang mumpuni
sebagai seorang wakil rakyat. Kita semua tentu berharap agar pemimpin yang
terpilih, baik untuk DPR, DPRD, DPD, Presiden dan Wakil Presiden adalah
orang-orang yang benar-benar mempunyai kapabilitas dan integritas baik. Oleh
sebab itu, masyarakat patut menyadari bahwa uang yang diterima dari praktik
politik uang para caleg maupun parpol tidaklah sebanding dengan besarnya resiko
yang akan diterima jika salah memilih pemimpin. Kondisi ini harus didukung
penuh dengan implementasi sanksi tegas dari KPU dan Bawaslu terhadap parpol dan
caleg yang melakukan praktik politik uang. Dengan kata lain, KPU dan Bawaslu
tak boleh sedikitpun mentolerir praktik politik uang sekecil apapun nominalnya.
Semoga!
Dimuat di Kolom Opini Banjarmasin Post edisi 5 April 2014
Dimuat di Kolom Opini Banjarmasin Post edisi 5 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar