Partai politik (parpol) di negara ini
agaknya tidak pernah mau serius melakukan proses demokrasi dengan bersih.
Buktinya, manajemen administrasi keuangan setiap parpol ternyata masih sangat
buruk. Hal ini terlihat dari penyerahan laporan awal dana kampanye yang dilakukan
pada detik-detik terakhir batas akhir penyerahan laporan. Hal ini membuktikan bahwa manajemen administrasi keuangan setiap
parpol masih menggunakan pola SKS, yakni “sistem kebut semalam”. Padahal
sebagian besar partai peserta pemilu 2014 mendatang adalah partai politik lama.
Diskala nasional, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) menempati posisi
pertama partai peserta pemilu dengan anggaran dana kampanye terbesar, yakni
mencapai Rp 306 miliar.
Sementara itu, dana kampanye paling sedikit adalah
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dengan anggaran dana kampanye
sebesar Rp 29 miliar. Sementara itu anggaran dana kampanye parpol lain, yakni
Partai Demokrat sebesar Rp 268 miliar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDI-P) sebesar Rp 220 miliar, Partai Golongan Karya (Golkar) sebesar Rp 174
miliar, dan Partai Amanat Nasional sebesar Rp 170 miliar. Parpol lain seperti
Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Bulan
Bintang (PBB), anggaran dana awal kampanye yang dilaporkan berturut-turut
sebesar Rp140 miliar, Rp 97 miliar, Rp 82 miliar, Rp 69 miliar, serta Rp 47,6
miliar.
Bukan menjadi rahasia lagi jika dana kampanye parpol memang rentan terhadap
aliran dana gelap, seperti suntikan dana dari mafia-mafia politik maupun dari
para koruptor. Apalagi perilaku parpol seakan turut mengamini pandangan
tersebut. Faktanya, parpol begitu enggan untuk menunjukkan transparansi sumber
dana kampanye yang dimiliki. Beberapa argumen yang diberikan terkesan
mengambang dan klise saja. Misalnya, dana yang dimiliki hanya merupakan
sumbangan dari kader dan calegnya saja. Publik jelas tak bisa percaya begitu
saja pada argumen-argumen seperti itu mengingat besarnya dana kampanye yang
dimiliki setiap parpol jumlahnya sangat fantastis. Selain itu, hampir semua
parpol juga menghindar dari pencatatan transaksi perbankan. Hal ini terlihat
jelas dari perputaran uang parpol sebut saja untuk iklan politik, ternyata lebih
sering menggunakan uang cash.
Alhasil, bukti-bukti pencatatan perbankan tidak bisa ditemukan begitu pula
sumber dananya jadi semakin abu-abu. Pelaporan awal dana kampanye ini merupakan
amanat dari UU Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPRD, dan
DPD. Dalam pasal 134 undang-undang ini menyebutkan bahwa parpol peserta pemilu
sesuai tingkatannya wajib memberikan laporan awal dana kampanye pemilu pada
KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/ Kota paling lambat 14 hari pertama jadwal
pelaksanaan kampanye. Meskipun saat ini parpol peserta pemilu telah menyerahkan
laporan awal dana kampanye, namun masyarakat harus tetap mencermati sikap
parpol yang cenderung tertutup. Isi dari laporan awal dana kampanye parpol yang
sebagian besar hanya melampirkan sumbangan dari caleg-calegnya saja, jelas
mengindikasikan ketidak seriusan parpol dalam mewujudkan pemilu yang bersih.
Hal ini tentu saja bisa menjadi boomerang
bagi proses demokrasi di negara ini. Apalagi, dewasa ini politic distrus terus menguat yang ditunjukkan dengan terus
menurunnya partisipasi aktif dalam pemilu. Pada pemilu 2004, partisipasi aktif
pemilih mencapai 84 persen, angka ini menurun menjadi 72, 23 persen pada pemilu
2009. Khusus pemilih golput, pada pemilu 2009 jumlahnya memang sangat mencengangkan,
yakni mencapai 27,77 persen atau setara dengan 49.212.158 suara. Jumlah suara
tersebut bahkan mengalahkan perolehan suara Partai Demokrat saat itu yang hanya
mencapai 21.703.137 suara.
Menguatkan
Peran KPU dan Bawaslu
Pada hakekatnya, tujuan pelaporan awal
dana kampanye ini dilakukan adalah demi terciptanya akuntabilitas dan
transparansi keuangan parpol. Alih-alih demikian, pelaporan awal dana kampaye
yang dilakukan sekarang ini hanya seperti formalitas belaka. Oleh karena itu,
isi dari UU Nomor 8 tahun 2012 pasal 138 yang menegaskan bahwa parpol yang
tidak menyerahkan laporan awal dana kampanye akan dikenai sanksi pembatalan
sebagai peserta pemilu agaknya perlu direvisi. Karena, substansi sengkarut dana
kampanye ini bukan pada mau atau tidaknya parpol menyerahkan laporan awal dana
kampanye, melainkan pada mau atau tidaknya parpol menunjukkan akuntabilitas dan
transparansi keuangannya. Ketegasan penyelenggara pemilu, yakni KPU dan Bawaslu sangat penting
dalam mewujudkan pemilu 2014 yang bersih. Pemilu harus berjalan sesuai dengan
prinsip-prinsip demokrasi, yakni jujur, adil, dan transparan. Pernyataan Kepala
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Muhammad Yusuf
beberapa waktu lalu, penting untuk dicermati oleh KPU dan Bawaslu. Muhammad
Yusuf mengungkapkan bahwa satu tahun menjelang pemilu, terjadi peningkatan
transaksi mencurigakan dalam rekening sejumlah calon legislatif (caleg). Oleh
sebab itu, baik KPU maupun Bawaslu harus benar-benar tegas dan cermat dalam
menelaah laporan awal dana kampanye yang sudah masuk. Jika ada indikasi sumber
pendanaan parpol yang mencurigakan, perlu diusut habis sampai ke akar-akarnya.
Parpol juga harus menyadari bahwa salah satu cara mematahkan apatisme dan kecurigaan publik pada
parpol selama ini ialah dengan pelaporan dana kampanye yang jujur dan
transparan. Semoga!
Dimuat di kolom Opini Harian Waspada edisi 17 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar