Konon,
semua warga negara di negara ini adalah manusia yang bertuhan dan beragama. Konon
lagi, kebebasan beragama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing
dilindungi oleh undang-undang. Meski begitu, bukan menjadi alasan adanya
undang-undang untuk tidak melaksanakan perintah agama dan kepercayaannya
masing-masing. Keberadaan undang-undang adalah untuk memberikan kebebasan
masyarakat untuk melaksanakan perintah agama, bukannya melindungi masyarakat
untuk tidak melaksanakan perintah agama. Agaknya, hal inilah yang telah merasuk
ke dalam jiwa setiap elite politik di negara ini. Alih-alih menyejahterakan
rakyat melalu implementasi kebijakan-kebijakan yang pro rakyat, elite politik
malah berlomba-lomba menguras harta kekayaan negara demi kepentingan diri
sendiri dan kepentingan kelompoknya saja.
Perilaku-perilaku elite politik yang
demikian, agaknya jauh dari pandangan orang yang beragama. Orang beragama
memiliki Tuhan sebagai acuan dan pedoman dalam menjalankan kehidupan. Tuhan
mewujudkan simbol-simbol perintah dan larangan dalam beragama melalu berbagai
macam cara, yakni melalui firman-firman yang dibukukan dalam kitab suci,
melalui nabi dan rosul sebagai pemberi teladan, serta melalui berbagai hal yang
tak logis (keajaiban) yang ada disekitar kita. Maraknya berbagai kasus korupsi
di negara ini, secara tersirat jelas menunjukkan bahwa elite politik kita tak
memiliki nalar politik yang berketuhanan. Pikiran meraka telah dipenuhi dengan
harta dan kekuasaan semata. Mereka agaknya lupa bahwasanya harta dan kekuasaan
itu tidak dibawa mati.
Bancakan Anggaran
Mencuatnya berbagai kasus korupsi di
tanah air, merupakan wujud nyata dari elite politik yang tidak berketuhanan.
Agama hanya dijadikan penghias dan pelengkap keterangan di Kartu Tanda Penduduk
(KTP) saja, karena hal itu memang sebuah keharusan. Anggaran yang seyogianya dipergunakan untuk
kepentingan dan kesejahteraan rakyat, malah dijadikan bancakan untuk
kepentingan masing-masing elite politik yang berkuasa. Tengok saja bagaimana
mantan bendahara umum partai Demokrat, M. Nazaruddin menjadikan anggaran Wisma
Atlet sebagai bancakan. Selain itu, masih banyak elite politik lain yang
menjadikan anggaran negara sebagai bancakan pribadi, sebut saja korupsi
Angelina Sondakh, Wa Ode Nurhayati, dan yang paling hangat kasus korupsi Anas
Urbaningrum. Perilaku mengkorupsi uang negara jelas bukan merupakan perilaku
orang yang taat kepada Tuhan. Rakyat semakin hari dihadapkan pada kenyataan
yang sulit, yakni bagaimana memilih calon pemimpin masa depan yang benar-benar
taat pada politik yang berketuhanan?
Disaat public distrust semakin menguat seperti saat ini, hendaknya elite
politik sadar diri dan berkaca pada perbuatan-perbuatan masa lalu. Bancakan
anggaran, korupsi, maupun mengumbar janji-janji politik yang tidak bisa
dipenuhi hendaknya tidak dilakukan sama sekali. Kinerja juga harus
ditingkatkan, berbanding lurus dengan anggaran yang dikeluarkan. Faktanya, elite
politik kita yang ada di DPR sana nyatanya tidak mampu menunjukkan kinerja yang
baik. Pada 2010 misalnya, dari 64 RUU program legislasi nasional (prolegnas),
DPR hanya mampu mengesahkan 8 undang-undang saja. Pada 2011 hingga 2013,
kinerja elite politik kita di DPR juga tidak menunjukkan peningkatan yang
signifikan dari fungsinya sebagai pembentuk undang-undang. Pada 2011, dari
target 94 RUU yang mampu diselesaikan hanya 18 UU. Kemudian pada 2012, dari
target yang dicanangkan sebanyak 64 RUU, namun hanya 10 UU yang tuntas
diselesaikan. Terakhir, pada tahun 2013 lalu, dari 75 RUU hanya 10 UU yang
dapat dituntaskan. Artinya, kinerja DPR sebagai pembentuk undang-undang jauh
dari apa yang diharapkan oleh publik. Tak lebih dari 10 persen undang-undang
yang mampu diseleaikan oleh DPR dari target yang dibuat setiap tahunnya.
Meneladani Nabi
Politik dari zaman ke zaman selalu
ada dan tak pernah lekang dimakan waktu. Hanya saja, politik saat ini telah
melenceng jauh dari politik yang dicontohkan oleh Nabi kita, Muhammad SAW. Nabi
Muhammad menegaskan bahwa sebagai pemimpin harus bisa mencintai rakyatnya
seperti mencintai dirinya sendiri. Hal ini sesuai dengan sabda beliau yang
artinya, “tak disebut beriman diantara kalian sehingga mencintai saudaranya
(rakyatnya) sebagaimana mencintai diri sendiri. Nabi Muhammad SAW tak hanya
memberikan contoh sebatas ucapan semata, melainkan melalui perilaku-perilaku
yang secara nyata menunjukkan kecintaan nabi pada rakyatnya. Oleh sebab itu,
sangat penting bagi elite politik saat ini untuk meniru ikhtiar dan akhlak Nabi
Muhammad SAW yang begitu mulia. Nabi selalu mengingatkan kepada umatnya untuk
selalu ikhtiar dan benar-benar bekerja keras, tidak hanya sekedar mengumbar
janji politik saja.
Nabi Muhammad SAW pernah memberikan peringatan
kepada umatnya, bahwa suatu hari nanti akan datang masa dimana umat Islam tak
lagi menjadikannya sebagai teladan. Syariat dan ajaran Nabi tak lagi diikuti,
malah ditinggalkan jauh-jauh dan saat itulah sebuah negara akan mendekati
sebuah kehancuran. Saat ini, kita tentu harus mulai khawatir bila hal tersebut
sudah terjadi. Pasalnya, elite politik secara nyata sudah tidak peduli lagi
pada kepentingan rakyat. Buruknya kinerja elite politik di DPR dan
pemerintahan, secara tersirat telah menjawab ketidakpedulian mereka pada
rakyat. Berbagai macam permasalahan dasar yang dihadapi rakyat seperti
pendidikan, kesehatan, dan pangan sampai kini pun belum mampu dituntaskan. Oleh
karena itu, seyogianya elite politik bisa meneladani sikap dan cara-cara Nabi
Muhammad dalam berpolitik. Menjadikan politik sebagai jalan menuju kekuasaan
adalah sah-sah saja, akan tetapi nalar politik tetaplah harus berketuhanan.
Sehingga, amanat rakyat yang dititipkan pada elite politik dapat dikembalikan
melalui kebijakan-kebijakan yang pro rakyat. Waallahu’alam bi ash-showwab!
Dimuat dikolom Opini Batam Pos edisi 14 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar