Meneladani Nalar Politik Rosulullah



Konon, semua warga negara di negara ini adalah manusia yang bertuhan dan beragama. Konon lagi, kebebasan beragama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing dilindungi oleh undang-undang. Meski begitu, bukan menjadi alasan adanya undang-undang untuk tidak melaksanakan perintah agama dan kepercayaannya masing-masing. Keberadaan undang-undang adalah untuk memberikan kebebasan masyarakat untuk melaksanakan perintah agama, bukannya melindungi masyarakat untuk tidak melaksanakan perintah agama. Agaknya, hal inilah yang telah merasuk ke dalam jiwa setiap elite politik di negara ini. Alih-alih menyejahterakan rakyat melalu implementasi kebijakan-kebijakan yang pro rakyat, elite politik malah berlomba-lomba menguras harta kekayaan negara demi kepentingan diri sendiri dan kepentingan kelompoknya saja.
Perilaku-perilaku elite politik yang demikian, agaknya jauh dari pandangan orang yang beragama. Orang beragama memiliki Tuhan sebagai acuan dan pedoman dalam menjalankan kehidupan. Tuhan mewujudkan simbol-simbol perintah dan larangan dalam beragama melalu berbagai macam cara, yakni melalui firman-firman yang dibukukan dalam kitab suci, melalui nabi dan rosul sebagai pemberi teladan, serta melalui berbagai hal yang tak logis (keajaiban) yang ada disekitar kita. Maraknya berbagai kasus korupsi di negara ini, secara tersirat jelas menunjukkan bahwa elite politik kita tak memiliki nalar politik yang berketuhanan. Pikiran meraka telah dipenuhi dengan harta dan kekuasaan semata. Mereka agaknya lupa bahwasanya harta dan kekuasaan itu tidak dibawa mati.
Bancakan Anggaran
            Mencuatnya berbagai kasus korupsi di tanah air, merupakan wujud nyata dari elite politik yang tidak berketuhanan. Agama hanya dijadikan penghias dan pelengkap keterangan di Kartu Tanda Penduduk (KTP) saja, karena hal itu memang sebuah keharusan.  Anggaran yang seyogianya dipergunakan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat, malah dijadikan bancakan untuk kepentingan masing-masing elite politik yang berkuasa. Tengok saja bagaimana mantan bendahara umum partai Demokrat, M. Nazaruddin menjadikan anggaran Wisma Atlet sebagai bancakan. Selain itu, masih banyak elite politik lain yang menjadikan anggaran negara sebagai bancakan pribadi, sebut saja korupsi Angelina Sondakh, Wa Ode Nurhayati, dan yang paling hangat kasus korupsi Anas Urbaningrum. Perilaku mengkorupsi uang negara jelas bukan merupakan perilaku orang yang taat kepada Tuhan. Rakyat semakin hari dihadapkan pada kenyataan yang sulit, yakni bagaimana memilih calon pemimpin masa depan yang benar-benar taat pada politik yang berketuhanan?
            Disaat public distrust semakin menguat seperti saat ini, hendaknya elite politik sadar diri dan berkaca pada perbuatan-perbuatan masa lalu. Bancakan anggaran, korupsi, maupun mengumbar janji-janji politik yang tidak bisa dipenuhi hendaknya tidak dilakukan sama sekali. Kinerja juga harus ditingkatkan, berbanding lurus dengan anggaran yang dikeluarkan. Faktanya, elite politik kita yang ada di DPR sana nyatanya tidak mampu menunjukkan kinerja yang baik. Pada 2010 misalnya, dari 64 RUU program legislasi nasional (prolegnas), DPR hanya mampu mengesahkan 8 undang-undang saja. Pada 2011 hingga 2013, kinerja elite politik kita di DPR juga tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan dari fungsinya sebagai pembentuk undang-undang. Pada 2011, dari target 94 RUU yang mampu diselesaikan hanya 18 UU. Kemudian pada 2012, dari target yang dicanangkan sebanyak 64 RUU, namun hanya 10 UU yang tuntas diselesaikan. Terakhir, pada tahun 2013 lalu, dari 75 RUU hanya 10 UU yang dapat dituntaskan. Artinya, kinerja DPR sebagai pembentuk undang-undang jauh dari apa yang diharapkan oleh publik. Tak lebih dari 10 persen undang-undang yang mampu diseleaikan oleh DPR dari target yang dibuat setiap tahunnya.
Meneladani Nabi
            Politik dari zaman ke zaman selalu ada dan tak pernah lekang dimakan waktu. Hanya saja, politik saat ini telah melenceng jauh dari politik yang dicontohkan oleh Nabi kita, Muhammad SAW. Nabi Muhammad menegaskan bahwa sebagai pemimpin harus bisa mencintai rakyatnya seperti mencintai dirinya sendiri. Hal ini sesuai dengan sabda beliau yang artinya, “tak disebut beriman diantara kalian sehingga mencintai saudaranya (rakyatnya) sebagaimana mencintai diri sendiri. Nabi Muhammad SAW tak hanya memberikan contoh sebatas ucapan semata, melainkan melalui perilaku-perilaku yang secara nyata menunjukkan kecintaan nabi pada rakyatnya. Oleh sebab itu, sangat penting bagi elite politik saat ini untuk meniru ikhtiar dan akhlak Nabi Muhammad SAW yang begitu mulia. Nabi selalu mengingatkan kepada umatnya untuk selalu ikhtiar dan benar-benar bekerja keras, tidak hanya sekedar mengumbar janji politik saja.
            Nabi Muhammad SAW pernah memberikan peringatan kepada umatnya, bahwa suatu hari nanti akan datang masa dimana umat Islam tak lagi menjadikannya sebagai teladan. Syariat dan ajaran Nabi tak lagi diikuti, malah ditinggalkan jauh-jauh dan saat itulah sebuah negara akan mendekati sebuah kehancuran. Saat ini, kita tentu harus mulai khawatir bila hal tersebut sudah terjadi. Pasalnya, elite politik secara nyata sudah tidak peduli lagi pada kepentingan rakyat. Buruknya kinerja elite politik di DPR dan pemerintahan, secara tersirat telah menjawab ketidakpedulian mereka pada rakyat. Berbagai macam permasalahan dasar yang dihadapi rakyat seperti pendidikan, kesehatan, dan pangan sampai kini pun belum mampu dituntaskan. Oleh karena itu, seyogianya elite politik bisa meneladani sikap dan cara-cara Nabi Muhammad dalam berpolitik. Menjadikan politik sebagai jalan menuju kekuasaan adalah sah-sah saja, akan tetapi nalar politik tetaplah harus berketuhanan. Sehingga, amanat rakyat yang dititipkan pada elite politik dapat dikembalikan melalui kebijakan-kebijakan yang pro rakyat. Waallahu’alam bi ash-showwab!



Dimuat dikolom Opini Batam Pos edisi 14 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar