Perang Melawan Plagiarisme Intelektual

Oleh: Pangki T Hidayat
Peneliti Bulaksumur Empat, Yogyakarta
Plagiarisme menjadi salah satu momok mematikan bagi kelangsungan hidup sebuah negara. Tidak berbeda jauh dengan korupsi, plagiarisme juga merupakan tindakan mengakui dan mengambil hak karya orang lain demi kepentingan diri sendiri maupun kelompoknya. Parahnya, seringkali orang yang terjebak dalam lingkaran setan plagiarisme ini ialah orang-orang yang bisa dikatakan “terdidik”. Orang-orang intelektual yang seyogianya menjadi panutan dan teladan dalam menemukan terobosan-terobosan baru, malah dengan sengaja melakukan tindakan plagiat yang jelas-jelas bertentangan dengan atitude seorang akademisi. Pun demikian yang terjadi pada salah satu dosen di kampus biru, Universitas Gajah Mada (UGM) yang notabene merupakan salah satu universitas terbaik di negara ini. Salah satu dosen di Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) universitas tersebut, yakni Anggito Abimanyu ditengarai telah melakukan tindakan plagiat atas tulisan Hotbonar Sinaga yang berjudul “Menggagas Asuransi Bencana” yang dipublikasikan di Kompas, 21 Juli 2006.
Sayangnya, meskipun tulisan Anggito Abimanyu yang berjudul “Gagasan Asuransi Bencana” (Opini Kompas, 10 Februari 2014) sebagian besar isinya memang memiliki kesamaan dengan tulisan milik Hotbonar Sinaga, namun Anggito masih enggan untuk mengakui bahwa dirinya melakukan tindakan plagiat. Dosen yang bergelar PhD dari University of Pennsylvania Philadelphia Amerika Serikat itu masih belum memberikan keterangan pasti perihal tindakan yang dituduhkan padanya itu. Dari sini muncul kesan bahwa Anggito Abimanyu ingin menghindar dari permasalahan yang menimpa dirinya. Padahal, plagiat adalah tindakan yang jelas, tegas, dan disengaja. Artinya, setiap orang yang melakukan plagiat atau tidak melakukan plagiat, akan dengan mudah berbicara bahwa dirinya tidak melakukan tindakan plagiat. Dalam hal ini, Anggito Abimanyu bisa saja langsung menyangkal bahwa dirinya tidak melakukan tindakan plagiat atau mungkin dengan menyangkal bahwa barangkali dijebak oleh orang lain. Kemungkinan untuk dijebak dan menjatuhkan nama Anggito Abimanyu memang sangat besar, apalagi kini dia sedang menjabat posisi strategis di Kementerian Agama, yakni sebagai Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh.
Terlepas benar atau salahnya tindakan plagiarisme yang dituduhkan pada Anggito Abimanyu, tindakan plagiat jelas bertentangan dengan UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pada pasal 72 UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dijelaskan bahwa barangsiapa melakukan tindakan plagiarisme alias penjiplakan karya cipta seseorang tanpa seizin pencipta atau tidak mencantumkan sumber asli dari karya yang dijiplak, akan dikenakan denda dengan biaya paling sedikit Rp 1.000.000, 00 hingga Rp 1.500.000.000, 00 atau dengan hukuman paling minimal 1 bulan dan paling berat 5 tahun penjara. Merujuk dari ancaman pasal yang diberikan, tindakan plagiat jelas bukan merupakan tindakan yang bisa disepelekan. Akibat yang ditimpulkan dari tindakan plagiat ini pun tidak main-main, karena bisa membunuh daya kreativitas dan imajinasi setiap pelakunya. Pembiaran atas kasus-kasus yang pernah ada hanya akan menyebabkan negara ini runtuh atas tindakan yang tak elok tersebut. Dengan kata lain, harus ada ketegasan hukum atas tindakan plagiat yang terjadi, hal ini sebagai upaya preventif akan munculnya pelaku-pelaku plagiat baru.
Kerawanan tindakan plagiat ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia semata, pasalnya mantan presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter juga pernah dituduh melakukan tindakan plagiat oleh seorang mantan diplomat timur tengah, yakni Dennis Ross. Jimmy Carter dituduh telah menerbitkan peta-peta karya Ross dalam buku Carter Palestine: Peace, Not Apartheid tanpa seizin Ross dan juga tanpa mencantumkan sumber aslinya. Sebuah komite penyelidikan Univercity of Colorado di Amerika Serikat, juga pernah menemukan tindakan plagiat yang dilakukan oleh seorang profesor etnis bernama Ward Churchill. Pada akhirnya, kanselir dari universitas tersebut mengusulkan Ward Churchill dipecat dari Board of Regents. Bercermin dari kasus plagiat yang pernah terjadi baik di dunia maupun di Indonesia, rasanya tak elok jika kita tetap membiarkan budaya plagiat tetap hidup di negara ini. Karena, secara nyata tak ada hasil positif yang diperoleh atas tindakan plagiat yang dilakukan.
Upaya Preventif
Pada ranah pendidikan, sebenarnya pemerintah telah melakukan upaya pencegahan dan pemberian sanksi atas tindakan plagiat melalui Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan penanggulangan Plagiat di Pendidikan Tinggi. Sayangnya, upaya ini secara nyata hanya menyentuh ranah pendidikan tinggi semata. Padahal, idealnya upaya preventif anti plagiarisme harus diterapkan sedini mungkin, yakni ketika menginjak pendidikan dasar. Artinya, pemerintah perlu juga membuat sebuah kebijakan yang mengharuskan pendidikan dasar untuk membentuk karakter siswa anti terhadap tindakan plagiat. Selama ini, ranah pendidikan dasar hanya tersentuh oleh implementasi kurikulum yang secara nyata masih mendewakan ranah kecerdasan semata. Oleh sebab itu, pembekalan budi pekerti, tanggung jawab, dan penghormatan atas karya orang lain perlu disisipkan secara jelas dan lugas baik dalam kurikulum maupun dalam proses pembelajaran.    Membuat karya tulis yang benar-benar dari kreativitas dan imajinasi sendiri memang tidak mudah. Perlu waktu, tenaga, dan pikiran yang harus dicurahkan secara maksimal demi sebuah karya yang bernilai dan berkualitas tinggi. Oleh sebab itu, seyogianya kita bisa menghargai hak atas karya milik orang lain dengan cara yang paling sederhana, yakni dengan tidak memplagiat karya tersebut. Semoga!

Dimuat di kolom Opini Malut Post edisi 28 Februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar