Saat ini, fokus masyarakat
seharusnya diarahkan ke DPR karena tengah berlangsung upaya-upaya
mengerdilkan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam acara
yang disebut revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dilakukan Komisi III DPR.
Ini hanyalah akal-akalan mengerem langkah agresif KPK memberantas
korupsi.
Meskipun argumen Komisi III demi memperbaiki kualitas
hukum, arah perbaikan malah menggerogoti kewenangan lembaga yang paling
dipercaya masyarakat saat ini, KPK. Maklum, banyak anggota DPR, DPRD,
dan lembaga lain yang berhasil diseret KPK ke meja hijau. Tak heran bila
masyarakat melihat revisi sesuatu yang tidak mendesak dipandang sebagai
langkah balas dendam.
Masa kerja kurang dari 3 bulan,
revisi KUHAP dan KUHP jelas dipaksakan. Dengan waktu yang sedemikian
sempit dan dalam kondisi persiapan Pemilu 2014, pembahasan revisi KUHAP
dan KUHP jelas tidak akan maksimal karena banyaknya masalah substansial
dan kompleks di dalam KUHAP dan KUHP itu sendiri.
Artinya, diperlukan upaya serius dengan waktu longgar supaya revisi memuaskan.
Tidak ada alasan yang urgen sehingga
tiba-tiba DPR dan pemerintah merevisi ketentuan tersebut. Masih banyak
agenda perampungan rancangan undang-undang yang belum dikerjakan, akan
tetapi mereka tampak bersemangat empat lima untuk mengubah KUHAP dan
KUHP.
Dalam draf yang diserahkan
Kementerian Hukum dan HAM kepada Komisi Hukum DPR pada tanggal 6 Maret
2013 tersebut, harus diakui bahwa secara implisit isinya mengarah pada
pelemahan wewenang KPK. Misalnya saja, KPK tidak bisa mecekal, menyadap,
memblokir rekening bank, atau operasi tangkap tangan.
Yang paling aneh, penyadapan atau
penyitaan harus izin hakim. KUHAP memang tidak serta-merta hanya
membahas mengenai KPK, namun imbas revisi membonsai wewenang KPK dalam
menangani kasus-kasus korupsi.
KPK ibarat tokoh antagonis bagi
politikus dan pemegang kekuasaan lainnya. Namun, di mata rakyat jelas
berbeda 180 derajat. KPK merupakan dewa penyelamat bagi rakyat. Hal ini
tak lain dan tak bukan karena rakyat biasa tak akan tersentuh KPK sebab
rakyat biasa tidak memunyai alasan dan kemampuan korupsi.
Ibaratnya sekarang ini, boleh
dikata, rakyat tinggal bergantung pada KPK untuk memberantas korupsi.
Langkah-langkah KPK jelas, persisten, dan berbuah. Kepada siapa lagi
masyarakat akan memercayakan penegakan hukum terkait korupsi, selain ke
KPK? Lembaga lain sudah jauh dari kepercayaan masyarakat.
Pada hakikatnya, revisi adalah
memperbaiki agar kualitas hukum dalam KUHAP dan KUHP lebih relevan dan
kontekstual. Pada masa ini, revisi KUHAP dan KUHP seyogianya mampu
mengakomodasi pemberantasan korupsi yang semakin mendarah daging.
Dengan kata lain, revisi seharusnya
memberi kekuatan hukum maksimal bagi lembaga penegak hukum untuk
memberantas korupsi. Namun, nalar politik jelas berbeda dengan nalar
penegak hukum seperti KPK. Tanpa melebih-lebihkan KPK, faktanya rakyat
memang semakin apatis terhadap para politikus. Antitesis dari perbuatan
masa lalu serta tindakan korupsi yang mayoritas dilakukan para polikus
inilah yang kemudian membuat idiom buruk polikus.
Kembali pada konteks revisi KUHAP
dan KUHP, nalar politik terkait lembaga penegak hukum harus dibenahi
lebih dulu. Perlu persamaan visi dan misi antara pembuat undang-undang
dan lembaga penegak hukum, khususnya KPK.
Namun, ini jelas sulit terwujud
karena dengan memberi kewenangan yang leluasa pada KPK, karier politikus
yang terjerat korupsi bisa saja "terbunuh". Sejak KPK berdiri tahun
2004 hingga kini sudah puluhan anggota DPR masuk bui. Fenomena seperti
itulah yang kemudian membuat politikus cenderung memusuhi KPK.
Kontrol Publik
Revisi KUHAP dan KUHP tidak boleh
mengurangi kewenangan KPK, kepolisian, dan kejaksaan. Sepatutnya para
penggodok undang-undang bertindak sebagai negarawan. Perilaku korupsi
jelas tidak bisa ditoleransi.
Maka, DPR seyogianya bersinergi
dengan semua lembaga penegak hukum yang perlu diperbaiki dalam KUHAP dan
KUHP. Maka, sayang KPK sebagai salah satu lembaga hukum tidak
dilibatkan.
Masyarakat dapat menilai kejujuran revisi. Jika hasilnya
makin memperkuat KPK jelas itu sebuah perbaikan yang berguna dan jujur.
Akan tetapi bila buahnya justru
memberangus dan membatasi wewenang KPK, jelas itu sebuah ketidakjujuran
revisi dan tidak berguna.
Saat ini, lembaga yang harus
diperkuat terutama adalah KPK sebab begitu masif tindakan korupsi. Saat
ini, korupsi sudah menjadi gurita yang merasuki seluruh lembaga negara
dari tingkat paling rendah hingga tertinggi, seperti Mahkamah
Konstitusi. Siapa lagi yang dapat diandalkan jika bukan KPK? Lembaga
lain sudah tidak dipercaya masyarakat.
Publik hendaknya mengawal revisi
KUHAP dan KUHP dengan cermat. Aroma semangat kodifikasi hukum, yakni
keinginan menyatukan korupsi dengan pidana umum yang menyeruak ke
permukaan, harus benar-benar menjadi perhatian serius masyarakat.
Jika hal itu terjadi, maka
pengadilan tipikor akan dihapus, dan vonis bebas di tingkat peradilan
pertama tidak dapat dikasasi. Ini jelas merupakan angin segar para
koruptor dan kabar buruk penegakan hukum. Dengan keadaan yang demikian,
maka kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945
semakin jauh panggang dari api.
Masyarakat sepatutnya aktif memantau
perkembangan revisi KUHAP dan KUHP agar wewenang lembaga penegak hukum,
khususnya KPK, bisa terpenuhi, bukannya teramputasi. Peran media massa
sangat diharapkan dalam mengawal dan mengawasi revisi tersebut. Sebab
mengharapkan kejujuran dewan jelas sulit. Terlalu banyak kepentingan
yang melingkungi upaya-upaya revisi.
Oleh Pangki T Hidayat
Penulis menjadi peneliti di Bulaksumur Empat, Yogyakarta
Dimuat di kolom Gagasan Koran Jakarta edisi 27 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar