Melawan Nalar Plagiarisme

Di negara ini, plagiarisme begitu mendarah daging dimasyarakat seperti halnya kasus korupsi. Hanya saya, pasca reformasi penanganan kasus korupsi telah diakomodasi dengan membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan pada UU Nomor 30 Tahun 2002 sebagai amanat dari UU Nomor 31 tahun 1999 (pasal 3). Sementara pada tataran ini, plagiarisme tidak cukup mendapatkan penanganan yang serius dari pemerintah. Padahal, plagiarisme jelas memiliki dampak yang signifikan terhadap bangsa ini meskipun tidak termasuk dalam extra ordinary crime. Plagiarisme secara nyata telah membuat mandul nalar berfikir kreatif setiap orang, khususnya kalangan akademisi.
Ketika kalangan ini mengalami degradasi berfikir kreatif, maka ranah pendidikan pun tidak akan dapat berkembang. Padahal, pendidikan merupakan salah satu faktor penting sebuah negara agar bisa menjadi negara maju. Kita tentu masih ingat jelas, bagaimana awal negara Jepang bisa bangkit pasca bom atom yang dijatuhkan di kota Hiroshima dan Nagasaki. Kala itu, pendidikan menjadi sektor utama yang dibangun oleh negeri matahari terbit. Hasilnya pun tak sia-sia, kita tentu bisa melihat betapa majunya negara Jepang saat ini. Ketika pengalaman sudah berbicara betapa pentingnya pendidikan bagi sebuah bangsa, maka ranah-ranah yang menggerogoti akan kualitas dan jati diri pendidikan harusnya disingkirkan sejauh mungkin, tak terkecuali nalar plagiarisme ini. Alih-alih demikian, plagiarisme malah semakin mendarah daging di negara ini. Dari tahun ke tahun selalu saja ada pemberitaan terkait fenomena ini.
Di tahun politik ini, Anggito Abimanyu yang notabene dikenal sebagai seseorang yang berintegritas tinggi dan memiliki karir cemerlang, malah menjadi pesakitan akibat dugaan plagiarisme yang dilakukannya. Abimanyu ditengarai telah melakukan tindakan plagiat atas tulisan Hotbonar Sinaga yang berjudul “Menggagas Asuransi Bencana” yang dipublikasikan di Kompas, 21 Juli 2006. Terlepas benar dan tidaknya tindakan plagiarisme yang dialamatkan pada dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM tersebut, pemerintah dan stake holder terkait seyogianya segera melakukan upaya tanggap dan responsif agar kejadian seperti ini tak terulang kembali. Rendahnya kultur akademik di negara ini, memang menjadi celah besar bagi munculnya budaya plagiarisme. Hal tersebut diperkuat dengan temuan yang dirilis Direktorat Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Direktorat Pendidikan Tinggi Kemendikbud pada tahun 2012 lalu, yang menemukan 100 dosen terindikasi melakukan plagiarisme. Hal ini jelas merupakan cambuk bagi pendidikan tinggi untuk memperbaiki mental dan nalar dosen-dosen plagiat tersebut. Senada dengan hal tersebut, Irene Sarwindaningrum dalam artikelnya “Meraih Gelar dengan Skripsi Pesanan” dengan jelas mengungkapkan bahwa plagiarisme juga sudah terjadi pada tataran mahasiswa. Artinya, proses dan strategi pembelajaran yang diterapkan oleh universitas secara nyata telah menunjukkan kegagalan. Tuntutan untuk segera menyandang gelar sarjana, dan lemahnya pengawasan universitas membuat plagiarisme ini semakin membudaya dikalangan akademisi. Pada akhirnya, budaya ini hanya akan menimbulkan kemandulan bagi munculnya ide-ide kreatif dari kalangan akademisi.
Implementasi Hukum yang Tegas
Kerawanan plagiarisme ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia semata, pasalnya mantan presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter juga pernah dituduh melakukan tindakan plagiat oleh seorang mantan diplomat timur tengah, yakni Dennis Ross. Jimmy Carter dituduh telah menerbitkan peta-peta karya Ross dalam buku Carter Palestine: Peace, Not Apartheid tanpa seizin Ross dan juga tanpa mencantumkan sumber aslinya. Selain itu, sebuah komite penyelidikan Univercity of Colorado di Amerika Serikat, juga pernah menemukan tindakan plagiat yang dilakukan oleh seorang profesor etnis bernama Ward Churchill. Pada akhirnya, kanselir dari universitas tersebut mengusulkan Ward Churchill dipecat dari Board of Regents. Bercermin dari perilaku plagiarisme yang pernah terjadi baik di dunia maupun di Indonesia, rasanya tak elok jika kita tetap membiarkan budaya ini tetap hidup di negara ini. Oleh karena, secara nyata tak ada hasil positif yang diperoleh dari budaya plagiarisme tersebut.
            Pada hakekatnya, plagiarisme dapat digolongkan sebagai penyakit mental, yakni mental malas dan mental pencuri. Orang-orang yang gemar melakukan tindakan plagiat, biasanya adalah orang-orang yang malas berfikir dan bekerja, namun ingin mendapatkan hasil yang bagus. Alhasil, diambilah jalan pintas dengan memplagiat karya orang lain. Di Indonesia sendiri, plagiarisme sebenarnya dapat dianggap sebagai tindak pidana karena termasuk melakukan pencurian hak cipta. Sayangnya, dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada satu pasal pun yang mengatur tentang tindakan plagiarisme ini. Namun demikian, para pelaku plagiarisme tetap masih bisa dijerat melalui UU Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pada pasal 72 ayat (1) dijelaskan bahwa, pelaku plagiarisme bisa dikenakan sanksi penjara paling singkat 1 bulan dan/ atau denda paling sedikit 1 juta rupiah atau pidana penjara paling lama 7 tahun dan/ atau denda paling banyak 5 miliar rupiah. Sanksi hukum yang telah ada tersebut, seyogianya dapat diimplementasikan secara jelas dan tegas terhadap para pelaku plagiarisme. Dengan begitu, embrio-embrio plagiarisme yang lain tidak akan berani muncul kepermukaan. Semoga!

Dimuat di kolom Opini Galamedia edisi 14 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar