
Di tahun
politik ini, Anggito Abimanyu yang notabene dikenal sebagai seseorang yang
berintegritas tinggi dan memiliki karir cemerlang, malah menjadi pesakitan
akibat dugaan plagiarisme yang dilakukannya. Abimanyu ditengarai telah
melakukan tindakan plagiat atas tulisan Hotbonar Sinaga yang berjudul
“Menggagas Asuransi Bencana” yang dipublikasikan di Kompas, 21 Juli 2006. Terlepas benar dan tidaknya tindakan
plagiarisme yang dialamatkan pada dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM
tersebut, pemerintah dan stake holder
terkait seyogianya segera melakukan upaya tanggap dan responsif agar kejadian
seperti ini tak terulang kembali. Rendahnya kultur akademik di negara ini,
memang menjadi celah besar bagi munculnya budaya plagiarisme. Hal tersebut
diperkuat dengan temuan yang dirilis Direktorat Pendidikan dan Tenaga
Kependidikan Direktorat Pendidikan Tinggi Kemendikbud pada tahun 2012 lalu,
yang menemukan 100 dosen terindikasi melakukan plagiarisme. Hal ini jelas
merupakan cambuk bagi pendidikan tinggi untuk memperbaiki mental dan nalar
dosen-dosen plagiat tersebut. Senada dengan hal tersebut, Irene Sarwindaningrum
dalam artikelnya “Meraih Gelar dengan Skripsi Pesanan” dengan jelas
mengungkapkan bahwa plagiarisme juga sudah terjadi pada tataran mahasiswa.
Artinya, proses dan strategi pembelajaran yang diterapkan oleh universitas
secara nyata telah menunjukkan kegagalan. Tuntutan untuk segera menyandang
gelar sarjana, dan lemahnya pengawasan universitas membuat plagiarisme ini
semakin membudaya dikalangan akademisi. Pada akhirnya, budaya ini hanya akan
menimbulkan kemandulan bagi munculnya ide-ide kreatif dari kalangan akademisi.
Implementasi Hukum yang Tegas
Kerawanan
plagiarisme ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia semata, pasalnya
mantan presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter juga pernah dituduh melakukan
tindakan plagiat oleh seorang mantan diplomat timur tengah, yakni Dennis Ross.
Jimmy Carter dituduh telah menerbitkan peta-peta karya Ross dalam buku Carter Palestine: Peace, Not Apartheid tanpa seizin Ross dan juga tanpa mencantumkan
sumber aslinya. Selain itu, sebuah komite penyelidikan Univercity of Colorado
di Amerika Serikat, juga pernah menemukan tindakan plagiat yang dilakukan oleh
seorang profesor etnis bernama Ward Churchill. Pada akhirnya, kanselir dari
universitas tersebut mengusulkan Ward Churchill dipecat dari Board of Regents.
Bercermin dari perilaku plagiarisme yang pernah terjadi baik di dunia maupun di
Indonesia, rasanya tak elok jika kita tetap membiarkan budaya ini tetap hidup
di negara ini. Oleh karena, secara nyata tak ada hasil positif yang diperoleh dari
budaya plagiarisme tersebut.
Pada hakekatnya, plagiarisme dapat digolongkan sebagai
penyakit mental, yakni mental malas dan mental pencuri. Orang-orang yang gemar
melakukan tindakan plagiat, biasanya adalah orang-orang yang malas berfikir dan
bekerja, namun ingin mendapatkan hasil yang bagus. Alhasil, diambilah jalan
pintas dengan memplagiat karya orang lain. Di Indonesia sendiri, plagiarisme sebenarnya
dapat dianggap sebagai tindak pidana karena termasuk melakukan pencurian hak
cipta. Sayangnya, dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada satu
pasal pun yang mengatur tentang tindakan plagiarisme ini. Namun demikian, para
pelaku plagiarisme tetap masih bisa dijerat melalui UU Nomor 19 tahun 2002
tentang Hak Cipta. Pada pasal 72 ayat (1) dijelaskan bahwa, pelaku plagiarisme
bisa dikenakan sanksi penjara paling singkat 1 bulan dan/ atau denda paling
sedikit 1 juta rupiah atau pidana penjara paling lama 7 tahun dan/ atau denda
paling banyak 5 miliar rupiah. Sanksi hukum yang telah ada tersebut, seyogianya
dapat diimplementasikan secara jelas dan tegas terhadap para pelaku
plagiarisme. Dengan begitu, embrio-embrio plagiarisme yang lain tidak akan
berani muncul kepermukaan. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar