
Fenomena-fenomena seperti itu secara
nyata merupakan manifestasi dari kegagalan implementasi pendidikan politik.
Parpol maupun caleg seakan tidak pernah mau belajar dari kesalahan-kesalahan
pada pemilu yang sebelumnya. Seharusnya, data statistik yang ada menjadi
sinyalemen bagi parpol dan caleg untuk mencari strategi politik baru yang lebih
relevan. Kerja, kerja, dan kerja itulah seharusnya yang dilakukan oleh parpol
dan elit politik kita, sehingga simpati dan hati rakyat bisa luluh dengan
sendirinya. Alih-alih demikian, parpol dan elit politik yang ada malah banyak
yang terjerembab ke dalam lingkaran setan yang bernama korupsi. Siapa yang bisa
menjamin suara Partai Demokrat akan lebih banyak dari suara pada pemilu 2009
setelah banyaknya kader dari partai tersebut yang terlibat kasus korupsi.
Bagaimana juga dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), siapa yang bisa menjamin
suara PKS akan lebih baik dari pemilu sebelumnya setelah mantan presiden partai
itu, Lutfi Hasan Ishak menjadi pesakitan akibat kasus korupsi. Tak jauh
berbeda, kader-kader partai lain juga banyak yang terlibat dalam lingkaran
setan korupsi. Hanya saja, media massa tidak terlalu sering mengeksposnya, karena
secara berita memang lebih menarik untuk memberitakan kasus-kasus yang menimpa
elit politik partai berkuasa.
Tidak Ada Solusi
Jika kita mau jujur, mengatasi potensi
munculnya golput itu sangat sederhana sekali caranya. Asalkan ada etikat baik dari
pemerintah maupun parpol untuk menyejahterakan rakyat, bekerja dengan tulus dan
ikhlas, maka potensi munculnya golput akan hilang dengan sendirinya. Hal ini
disebabkan golput yang ada di negara ini secara nyata kebanyakan adalah golput
ideologis, yakni orang-orang yang berpandangan bahwa pemilu sudah tidak lagi
ada gunanya. Oleh sebab itu, kerja nyata dan impelementasi kebijakan-kebijakan
yang pro rakyat adalah jalan satu-satunya mengatasi persoalan ini. Jika
dibiarkan begitu saja, maka demokrasi yang dihasilkan adalah demokrasi yang
tidak sehat, karena sepi dari partisipasi masyarakat dalam memilih. Singkat
kata, solusi untuk mengatasi golput yang kian mengancam demokrasi di negara
ini, membutuhkan waktu dan proses jangka panjang. Namun, bukan berarti penulis
menyatakan bahwa dalam waktu yang tinggal hitungan hari menjelang pemilu ini
tidak bisa dicarikan solusi alternatif. Peluang masih ada, hanya saja secara
logika sulit untuk diterima nalar sehat.
Persoalan
golput jelas harus mendapatkan perhatian yang serius dari semua pihak. Jika
suara golput mengalami peningkatan lagi pada pemilu 2014 mendatang, maka pesta
demokrasi yang dilakukan sekali dalam lima tahun itupun hanya akan sia-sia.
Anggaran yang dikeluarkan negara untuk melaksanakan pemilu juga tidak akan
berarti apa-apa. Sejatinya, pemilu adalah jalan menuju kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Oleh sebab itu, mau tidak mau golput
harus ditekan seminimal mungkin. Jika memang upaya jangka pendek secara logika
tidak ada, maka upaya jangka panjang wajib mulai dicanangkan. Setidaknya pasca
pemilu 2014 mendatang, pemimpin-pemimpin kita yang baru mempunyai visi dan misi
kearah perbaikan tersebut. Semoga!
Dimuat di kolom Opini Inilah Koran edisi 10 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar