Mewaspadai Golput

Ritual elektoral Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 yang konon merupakan wujud pesta demokrasi seluruh rakyat Indonesia, agaknya hanya akan menjadi pesta demokrasi bagi sebagian kelompok saja. Pasalnya, sampai hitungan hari menjelang Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) pada 9 April 2014, tidak ada tanda-tanda bahwa calon legislatif (caleg) yang dimiliki masing-masing partai politik bisa menarik simpati masyarakat. Hal ini tidak lepas dari sengkarut proses perekrutan caleg dari masing-masing parpol yang terkesan asal-asalan, dalam hal ini ialah asal kaya dan asal terkenal. Caleg dengan kualitas mumpuni pun sebenarnya juga ada, hanya saja ketika caleg tersebut tidak populer dan juga dari segi ekonomi dipandang pas-pasan, maka hampir pasti akan diberikan nomer kesekian dari parpolnya. Imbasnya, caleg-caleg yang hanya bermodalkan kekayaan dan polularitas tersebut hanya mengedepankan iklan politik, sementara kerja sosial dimasyarakatnya sangat kurang. Fenomena ini bukan hal yang aneh lagi di negara ini, akan banyak ditemukan caleg dengan jumlah baliho maupun poster yang mencapai ribuan di jalanan, sementara itu kerja sosial kemasyarakatannya hanya sejumlah jari ditangan dan kaki. Singkat kata, parpol sebenarnya mempunyai andil yang sangat besar jika pada pemilu nanti pesta demokrasi ternyata hanya dinikmati oleh sekelompok kalangan saja.
Potensi terjadinya hal seperti itu, tentu bukan tanpa data yang jelas. Jika kita sedikit melihat pemilu sebelum-sebelumnya, maka kita akan menemukan sebuah fakta yang sangat mencengangkan. Sejak pemilu 1999 hingga pemilu 2009 lalu, ternyata selalu terjadi tren penurunan partisipasi masyarakat dalam pemilu. Parahnya, dalam setiap kali terjadi tren penurunan partisipasi masyarakat dalam pemilu, angka golongan putih (golput) malah selalu mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat, pada pemilu 1999 angka golput mencapai 10,21%, sementara pada pemilu 2004 angka golput meningkat menjadi 23,34%, dan puncaknya terjadi pada pemilu 2009 lalu, yakni angka golput mencapai 29,01%. Angka ini bahkan melebihi perolehan suara partai pemenang pemilu kala itu yang hanya memperoleh 20,85% suara. Pada tataran ini, seharusnya sejak jauh-jauh hari sebelum mendekati masa kampanye resmi yakni pada 16 Maret mendatang, maka parpol dan caleg harus benar-benar bekerja secara serius untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Faktanya, parpol maupun caleg-caleg yang ada jauh sebelum masa kampanye malah disibukkan dengan kepentingan masing-masing. Dan seperti biasa, mereka mulai unjuk gigi menebar citra positif ketika telah mendekati masa kampanye seperti sekarang ini.
       Fenomena-fenomena seperti itu secara nyata merupakan manifestasi dari kegagalan implementasi pendidikan politik. Parpol maupun caleg seakan tidak pernah mau belajar dari kesalahan-kesalahan pada pemilu yang sebelumnya. Seharusnya, data statistik yang ada menjadi sinyalemen bagi parpol dan caleg untuk mencari strategi politik baru yang lebih relevan. Kerja, kerja, dan kerja itulah seharusnya yang dilakukan oleh parpol dan elit politik kita, sehingga simpati dan hati rakyat bisa luluh dengan sendirinya. Alih-alih demikian, parpol dan elit politik yang ada malah banyak yang terjerembab ke dalam lingkaran setan yang bernama korupsi. Siapa yang bisa menjamin suara Partai Demokrat akan lebih banyak dari suara pada pemilu 2009 setelah banyaknya kader dari partai tersebut yang terlibat kasus korupsi. Bagaimana juga dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), siapa yang bisa menjamin suara PKS akan lebih baik dari pemilu sebelumnya setelah mantan presiden partai itu, Lutfi Hasan Ishak menjadi pesakitan akibat kasus korupsi. Tak jauh berbeda, kader-kader partai lain juga banyak yang terlibat dalam lingkaran setan korupsi. Hanya saja, media massa tidak terlalu sering mengeksposnya, karena secara berita memang lebih menarik untuk memberitakan kasus-kasus yang menimpa elit politik partai berkuasa.
Tidak Ada Solusi       
Jika kita mau jujur, mengatasi potensi munculnya golput itu sangat sederhana sekali caranya. Asalkan ada etikat baik dari pemerintah maupun parpol untuk menyejahterakan rakyat, bekerja dengan tulus dan ikhlas, maka potensi munculnya golput akan hilang dengan sendirinya. Hal ini disebabkan golput yang ada di negara ini secara nyata kebanyakan adalah golput ideologis, yakni orang-orang yang berpandangan bahwa pemilu sudah tidak lagi ada gunanya. Oleh sebab itu, kerja nyata dan impelementasi kebijakan-kebijakan yang pro rakyat adalah jalan satu-satunya mengatasi persoalan ini. Jika dibiarkan begitu saja, maka demokrasi yang dihasilkan adalah demokrasi yang tidak sehat, karena sepi dari partisipasi masyarakat dalam memilih. Singkat kata, solusi untuk mengatasi golput yang kian mengancam demokrasi di negara ini, membutuhkan waktu dan proses jangka panjang. Namun, bukan berarti penulis menyatakan bahwa dalam waktu yang tinggal hitungan hari menjelang pemilu ini tidak bisa dicarikan solusi alternatif. Peluang masih ada, hanya saja secara logika sulit untuk diterima nalar sehat.
        Persoalan golput jelas harus mendapatkan perhatian yang serius dari semua pihak. Jika suara golput mengalami peningkatan lagi pada pemilu 2014 mendatang, maka pesta demokrasi yang dilakukan sekali dalam lima tahun itupun hanya akan sia-sia. Anggaran yang dikeluarkan negara untuk melaksanakan pemilu juga tidak akan berarti apa-apa. Sejatinya, pemilu adalah jalan menuju kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Oleh sebab itu, mau tidak mau golput harus ditekan seminimal mungkin. Jika memang upaya jangka pendek secara logika tidak ada, maka upaya jangka panjang wajib mulai dicanangkan. Setidaknya pasca pemilu 2014 mendatang, pemimpin-pemimpin kita yang baru mempunyai visi dan misi kearah perbaikan tersebut. Semoga!


Dimuat di kolom Opini Inilah Koran edisi 10 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar