![]() |
(Dok. reportasebangka.com) |
Institusi Kepolisian Republik Indonesia
(Polri) saat ini sedang dihinggapi isu tidak sedap, yaitu terkait adanya tes
keperawanan atau yang juga dikenal sebagai tes “dua jari” bagi para calon
perwira polisi wanita (polwan). Kondisi ini tentu menimbulkan rasa was-was dan
kekhawatiran bagi masyarakat, utamanya para orang tua yang menginginkan
putrinya menjadi bagian dari Korps Polri. Namun demikian, institusi Polri tidak
diam saja dengan beredarnya isu tes “dua jari” bagi calon polwan ini. Melalui
Kepala Divisi Humas Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri)
Inspektur Jenderal Polisi Ronny F. Sompie, Polri secara terang-terangan
membantah adanya praktik tes “dua jari”. Tetapi, Polri memang tidak membantah
jika dilakukan pemeriksaan terhadap kesehatan reproduksi para calon perwira polwan
tersebut.
Tes kesehatan reproduksi bagi calon
polwan, pada hakikatnya bukanlah sesuatu yang baru di institusi Polri. Tes ini
mengacu pada Peraturan Kepala kepolisian Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2009
tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Penerimaan Calon Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Dalam pasal 36 disebutkan bahwa calon anggota perwira
perempuan harus menjalani pemeriksaan obstetrics
dan gynaecology (rahim dan genitalia).
Hanya saja, selama ini mekanisme pemeriksaan yang dimasksud, baik pemeriksaan obstetrics maupun gynaecology terkesan tertutup dan tidak pernah secara detail diketahui publik. Kondisi inilah yang
kemudian menarik minat kelompok pemerhati HAM, Human Rigth Watch untuk mengkaji tes kesehatan reproduksi Polri
yang diterapkan pada para calon polwan. Dan hasilnya cukup mengejutkan, dari
hasil kajian yang dilakukan di enam kota yaitu Bandung, Jakarta, Makassar,
Pekanbaru, Padang, dan Medan, diketahui bahwa tes “dua jari” merupakan salah satu
bagian dari tes kesehatan reproduksi yang harus dilalui oleh calon polwan.
Bukan
Hal Baru
Isu tes “dua jari” untuk masuk ke sebuah
institusi sebenarnya bukanlah hal yang baru. Pada tahun lalu, isu tes ini juga
mencuat di Kota Prabumulih, Sumatera Selatan. Di kota tersebut, Dinas
Pendidikan (Dispendik) setempat merencanakan kebijakan tes “dua jari” bagi
semua siswi sebagai respon atas maraknya kasus prostitusi yang melibatkan
pelajar di kota itu. Namun, setelah mendapatkan pelbagai respon penolakan, baik
dari para praktisi pendidikan maupun pemerhati perempuan, wacana kebijakan
tersebut urung diimplementasikan. Istilah
keperawanan (virgin) sesungguhnya berasal dari Bahasa Latin yaitu virgo atau
gadis, perawan. Istilah ini mempunyai kaitan erat dengan istilah virga yang
artinya baru, ranting muda atau cabang yang tidak berbentuk. Pada
perkembangannya, keperawanan tersebut kemudian diukur atas dasar kondisi
selaput dara (hymen) pada wanita.
Dalam bukunya berjudul “Menjaga Organ
Intim”, dr. Maria Dwikarya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hymen adalah
membran paling dalam yang terletak pada sepertiga luar organ intim wanita.
Apabila keberadaan hymen pada organ intim wanita masih utuh, maka wanita
tersebut bisa dikatakan perawan. Sedangkan bila keberadaan hymen sudah rusak
(robek), maka wanita tersebut dianggap sudah tidak perawan. Di sinilah
sebenarnya letak mitos keperawanan itu muncul, yaitu berdasarkan asumsi yang
masih debatable, pun di kalangan medis sendiri. Berdasarkan kajian-kajian
medis, faktanya tidak semua wanita yang dilahirkan mempunyai hymen dalam organ
intimnya. Mitos lain yang berkembang yaitu bahwa setiap wanita mempunyai bentuk
hymen yang sama. Faktanya bentuk, elastisitas, dan kekuatan hymen yang dimiliki
setiap wanita bervariasi. Itulah sebabnya, hymen sebagian wanita banyak yang
telah rusak (robek) meskipun belum pernah melakukan aktivitas-aktivitas
seksual. Dalam konteks ini, wanita yang hymen dalam organ intimnya telah rusak,
tentu tidak bisa semata-mata dikatakan sudah tidak perawan. Apalagi jika
kerusakan tersebut jelas-jelas diakibatkan oleh hal lain di luar aktivitas
seksual, misalnya olahraga berat, kerja berat, dan aktivitas lain yang mempunyai
tingkat kelelahan tinggi.
Simbol
Kultur Diskriminasi
Adanya tes “dua jari” bagi setiap calon
perwira polwan menjadi simbol nyata masih kuatnya kultur diskriminasi dan
kekerasan terhadap kaum perempuan. Virginitas dijadikan semacam area sakral
untuk mendemarkasi tubuh perempuan secara sosial-politis melalui
perlakuan-perlakuan yang berimpitan dengan masa depannya, khususnya dalam
proses pencarian kerja dan aktualisasi dirinya sehari-hari. Maka, hal itu
merupakan upaya pembatasan aksesibilitas ruang publik secara sistematis bagi
para perempuan yang dilakukan oleh negara (Fransisca Ayu Kumalasari, 2014). Adanya tes “dua jari” secara nyata juga telah
melanggar beberapa legal standing,
diantaranya Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, Pasal 21
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, dan Pasal 28 ayat (1) serta ayat
(2) UUD 1945. Oleh sebab itu, kajian mendalam terkait tes kesehatan reproduksi,
apakah di dalamnya betul-betul terjadi praktik tes “dua jari” mendesak untuk
dilakukan.
Dalam konteks ini, temuan-temuan Human Right Watch terkait adanya tes
“dua jari” patut segera ditindak lanjuti oleh pemerintah melalui Kementerian
Hukum dan HAM (Kemenkumham). Jangan sampai, terjadinya tes yang mendiskreditkan
dan menimbulkan trauma psikologis bagi kaum hawa ini berkembang dengan leluasa.
Di sisi lain, secara logika tak ada kaitan sama sekali antara virginitas dan
kapabilitas yang harus dikuasai sebagai anggota polwan. Tentunya akan sangat
merugikan instisuti Polri sendiri bila ada calon polwan yang mempunyai
ketrampilan, kecakapan, dan fisik mumpuni, tetapi karena ditengarai sudah tidak
virgin lantas tidak diterima sebagai anggota polwan. Seyogianya, adanya tes
“dua jari” yang berkembang di kalangan calon polwan ini segera disikapi secara
bernas oleh pemerintah, utamanya Kemenkumham. Sehingga, tidak memunculkan
kekhawatiran bagi calon polwan maupun para orang tua yang menginginkan anaknya
bisa mengabdi kepada negara sebagai anggota Korps Polwan. Semoga!.
Dimuat dalam opini Harian Waspada edisi 8 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar