Peta(ka) Kebijakan PSKS


(Dok. potalkbr.com)

Pelbagai program yang ditawarkan oleh Pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla (Jokowi- JK) untuk memitigasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi nampaknya mulai menemukan banyak persoalan di lapangan. Salah satunya Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS) yang belum lama ini diluncurkan langsung oleh Menteri Sosial (Mensos), Khofifah Indar Parawansa. Program yang menyasar 15,5 juta penduduk miskin dengan total anggaran mencapai Rp 6,2 triliun ini ditengarai banyak yang tidak tepat sasaran. Pun pada tahap pendistribusiannya di lapangan, tidak dipetakan secara terstruktur dan sistematis. Sehingga, penduduk tidak mampu yang notabene kebanyakan sudah usia lanjut, harus rela berdesak-desakan untuk memperoleh dana PSKS ini. Tak jarang akibat kondisi antrian yang seperti itu, antrian dana PSKS justru malah menimbulkan korban jiwa seperti yang terjadi di Kecamatan Jebres, Solo.
Aspek lain yang tak kalah penting yaitu kurangnya perhatian terhadap penyandang disabilitas yang juga terdaftar sebagai penerima dana PSKS. Hampir semua lokasi pencairan dana PSKS tidak menyediakan antrian khusus bagi para penyandang disabilitas. Sehingga mereka harus berdesak-desakan dengan orang-orang yang tidak memiliki kecacatan pada fisiknya. Hal ini jelas menyalahi amanat Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas. UU  Nomor 19 tahun 2011 tersebut diantaranya mengamanatkan pemerintah untuk menyediakan fasilitas-fasilitas khusus bagi penyandang disabilitas agar lebih memudahkan pemenuhan terhadap hak-hak yang seharusnya mereka miliki. Pelbagai persoalan yang muncul dalam pelaksanaan PSKS tersebut tentu harus segera ditindak lanjuti. Sehingga, tujuan akhir dari PSKS yaitu melindungi daya beli masyarakat pascakenaikan harga BBM bersubsidi bisa tercapai. Tidak semata-mata hanya tameng politik untuk melindungi popularitas di balik kenaikan harga BBM bersubsidi saja.
Perjelas Data Penerima
Dari pelbagai persoalan pelaksanaan PSKS tersebut, validitas data yang digunakan menjadi persoalan yang paling banyak menyita perhatian publik. Sebab, kurangnya validitas data penduduk miskin itulah yang kemudian mendorong munculnya persoalan-persoalan baru dalam pelaksanaan PSKS. Diantaranya, terjadi “penyunatan” terhadap dana PSKS hingga rumah tangga sasaran (RTS) penerima PSKS yang tidak tepat sasaran. Di Desa Bogem Kecamatan Bayat misalnya, ratusan RTS harus rela dana PSKS mereka “disunat” oleh pemerintah desa (Pemdes) setempat sebesar Rp 150.000,00. Sedangkan di Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, setiap RTS penerima dana PSKS “disunat” sebesar Rp 100.000,00. Konon, hasil “penyunatan” dana PSKS tersebut akan diberikan kepada penduduk miskin yang belum terdaftar sebagai RTS penerima dana PSKS.
Di beberapa daerah lain malah lebih parah lagi, karena RTS penerima dana PSKS ditengarai banyak yang tidak tepat sasaran. Misalnya, di Kabupaten Sumedang, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Pekalongan. Paling tidak itulah yang selama ini terekam oleh liputan media massa, tentu tidak menutup kemungkinan di daerah-daerah lain juga terjadi hal serupa. Itulah sebabnya, data penerima PSKS mutlak diperjelas dan bila perlu dipublikasikan melalui website khusus. Sehingga, fungsi kontrol publik atas data penduduk miskin yang digunakan saat ini dapat berjalan. Publik bisa membantu melaporkan data penduduk miskin yang ditengarai sudah tidak valid lagi dijadikan sebagai RTS. Begitu juga sebaliknya, publik bisa memberikan laporan data baru bila ada penduduk yang diyakini layak dikategorikan sebagai penduduk miskin namun belum terdaftar sebagai RTS. Dalam konteks ini, peran aktif publik akan mempercepat upaya pemberantasan kemiskinan yang sudah sejak lama digalakkan oleh pemerintah.
Membentuk Lembaga Independen
Ironi memang, kemiskinan yang diakui sebagai salah satu persoalan utama bangsa, tetapi data tentang penduduk miskin itu sendiri tidak dipetakan secara serius. Walhasil, bila data penduduk miskin diperlukan sewaktu-waktu, misalnya dalam pelaksanaan PSKS seperti saat ini, yang terjadi di lapangan ialah munculnya pelbagai persoalan baru akibat rendahnya validitas data yang digunakan. Misalnya, “penyunatan” dana PSKS oleh pemdes setempat dengan pelbagai argumentasi, penyelewengan dana PSKS, dan penerima dana PSKS yang tidak tepat sasaran. Selain itu, pada tahap paling kritis di mana terjadi polemik akibat rendahnya validitas data yang digunakan, acap tidak ada institusi yang  kemudian berani secara terbuka menyatakan bertanggung jawab. Yang kerap terlihat justru sebaliknya, saling lempar tanggung jawab antar institusi yang berkompeten menyediakan data penduduk miskin.
Karenanya, mutlak bagi pemerintah untuk membentuk lembaga independen yang bertanggung jawab sepenuhnya menyediakan profil penduduk miskin secara berkala dan berkelanjutan. Sehingga, bila data penduduk miskin tersebut akan digunakan sewaktu-waktu untuk mengimplementasikan program-program yang bersentuhan langsung dengan penduduk miskin, pemerintah tidak perlu kerepotan lagi. Di samping itu, realisasi program-program tersebut jelas akan lebih optimal dan tepat sasaran. Selama ini, baik Badan Pusat Statistik (BPS) maupun Kementeria Sosial (Kemensos) yang dikenal sebagai lembaga yang memiliki data-data terkait penduduk miskin acap memiliki data berseberangan, baik dari sisi profil penduduk miskin maupun dari sisi jumlah penduduk miskin. Sudah saatnya Pemerintahan Jokowi- JK mempunyai lembaga independen yang sanggup menyediakan data penduduk miskin secara sistematis, berkala, dan berkelanjutan. Dengan begitu, upaya melindungi daya beli masyarakat melalui PSKS maupun program-program lain semacamnya di masa mendatang bukan mustahil bisa dilakukan tepat sasaran. Wallahu a’lam!

Dimuat dalam opini Harian Waspada edisi 15 Desember 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar