Sengkarut Kartu Sakti


(Dok. liputan-terkini.com)

Sejak diluncurkan awal November silam, implementasi Kartu (Tri)Sakti Pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla (Jokowi- JK), yaitu Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) mulai menuai polemik di aras publik.  Selain menegaskan hanya sebagai tameng politik di balik kebijakan penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, implementasi Kartu (Tri)Sakti juga ditengarai banyak yang tidak tepat sasaran. Mafhum diketahui, kebijakan serupa juga pernah dilakukan di era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)- Boediono dengan nomenklatur program bantuan langsung tunai (BLT). Rendahnya validitas data penduduk miskin yang digunakan saat itu, mengakibatkan implementasi BLT berjalan tidak optimal, bahkan cenderung tidak tepat sasaran.
Alih-alih menggunakan data penduduk miskin paling mutakhir, implementasi Kartu (Tri)Sakti Pemerintahan Jokowi- JK justru mengacu pada data penduduk miskin yang sama dengan yang digunakan dalam implementasi program BLT era Pemerintahan SBY- Boediono. Yaitu, data penduduk miskin hasil sensus Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2011 silam. Nahasnya lagi, tidak ada pendataan ulang terhadap kemungkinan adanya penduduk-penduduk miskin baru. Padahal, sangat mustahil bila dalam rentang tahun 2011 hingga 2014 tidak terjadi perubahan kondisi sosial- ekonomi pada setiap profil penduduk. Bukan tidak mungkin bila di tahun 2011 terdapat profil penduduk yang masih tergolong kaya, namun karena usahanya bangkrut sehingga di tahun 2014 ini menjadi penduduk miskin. Atau sebaliknya, ketika di tahun 2011 masih tergolong sebagai penduduk miskin, akan tetapi karena kelancaran usahanya, kemudian di tahun 2014 ini sudah tergolong sebagai penduduk kaya.
Dalam konteks ini, paling tidak ada dua hal yang lalai atau memang sengaja dilalaikan oleh Pemerintahan Jokowi- JK terkait implementasi kebijakan Kartu (Tri)Sakti. Pertama, pemerintah lalai dalam menyediakan data dan profil penduduk miskin yang akurat dan sistematis. Fakta yang mencuat, pemerintah terbukti menggunakan data penduduk miskin yang telah kedaluarsa, yakni hasil sensus BPS di tahun 2011. Kedua, pemerintah lalai dalam memetakan upaya mitigasi apabila terjadi persoalan dalam implementasi kebijakan tersebut. Padahal, dalam setiap kebijakan pasti memiliki potensi persoalan yang bisa menghambat atau bahkan menggagalkan tercapainya tujuan dari diterapkannya kebijakan itu. Maka, dalam hal ini jelas tidak terlihat keseriusan pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan Kartu (Tri) Sakti.
Menciptakan Potensi Konflik
Pada akhirnya, akibat kurangnya keseriusan Pemerintahan Jokowi- JK dalam memetakan implementasi Kartu (Tri)Sakti, arah dan orientasi diimplementasikannya kebijakan ini menjadi kabur. Jika pada awalnya kebijakan ini diasumsikan untuk melindungi daya beli penduduk miskin pascapenaikan harga BBM bersubsidi, lantas kemudian daya beli penduduk miskin mana yang pada saat ini  ingin dilindungi?. Faktanya, keberadaan penduduk-penduduk miskin baru antara tahun 2011 hingga 2014 dapat dipastikan tidak memperoleh jatah Kartu (Tri)Sakti. Pun demikian dengan penduduk-penduduk miskin yang tidak terdaftar sebagai rumah tangga sasaran (RTS) penerima dana BLT. Terpaksa mereka sekali lagi harus gigit jari, karena dapat dipastikan juga tidak akan menerima Kartu (Tri)Sakti Pemerintahan Jokowi- JK. Maka, bukan tidak mungkin bila implementasi kebijakan Kartu (Tri)Sakti ini ke depannya justru akan mendorong terciptanya konflik dan friksi sosial di aras publik.
Mengkonfirmasi atas hal itu, di beberapa daerah yang sudah bisa mencairkan dana Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS), baik yang telah menggunakan KKS maupun yang masih menggunakan KPS (Kartu Pengaman Sosial), ternyata banyak RTS yang menerima dana tidak sesuai dengan yang dijanjikan pemerintah. Yaitu, sebesar Rp 400.000, 00 untuk periode dua bulan, November dan Desember. Semisal di Kabupaten Bangkalan, dilakukan pemotongan terhadap dana PSKS sebesar Rp 100.000, 00 oleh pemerintahan setempat. Pun demikian di Kabupaten Subang, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Mojokerto, juga terjadi pemotongan PSKS yang besarannya bervariasi antara Rp 100.000,00 hingga Rp 150.000,00. Merujuk argumentasi pemerintahan setempat, pemotongan dana PSKS dilakukan untuk memitigasi munculnya potensi konflik dan friksi sosial di aras publik. Dana hasil pemotongan yang sudah terkumpul nantinya akan dibagikan kembali kepada penduduk miskin yang belum terdaftar sebagai RTS penerima dana PSKS.
Namun demikian, dilakukannya pemotongan terhadap dana PSKS apapun alasannya pada hakikatnya tetap tidak bisa dibenarkan. Terlebih lagi bila melihat kultur birokrasi di semua level pemerintahan, mulai dari pusat hingga level daerah yang cenderung korup, pemotongan dana PSKS tersebut justru berpotensi menciptakan persoalan baru di masyarakat. Bukan tidak mungkin, dana hasil pemotongan PSKS kemudian malah diselewengkan oleh oknum-oknum birokrat yang tidak bertanggung jawab. Itulah sebabnya, dalam upaya memitigasi potensi konflik kebijakan Kartu (Tri)Sakti, utamanya implementasi PSKS, pemerintah daerah perlu mendorong dilakukannya validasi atau pendataan ulang terhadap data penduduk miskin. Terkait hal ini, peran aparatur desa, mulai dari RT, RW, hingga kepala dusun (Kadus) penting untuk dioptimalkan. Sebab, pada dasarnya merekalah yang paling mengetahui kondisi sosial- ekonomi setiap profil penduduk di negeri ini.
Mengubah Mind Set
Berkaca dari implementasi program BLT maupun Kartu (Tri)Sakti, utamanya PSKS yang kini sedang mendapatkan banyak sorotan, akar persoalan dari kebijakan pemerintah tersebut secara nyata terletak pada rendahnya validitas data penduduk miskin yang dimiliki. BPS, Kementerian Sosial (Kemensos), maupun Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) terbukti tidak mampu menyediakan data dan profil penduduk miskin secara akurat, sistematis, dan berkelanjutan. Faktanya, data penduduk miskin yang dirilis oleh ketiga lembaga tersebut acap berbeda, baik dari jumlah maupun profil setiap penduduk miskin.
Celakanya, perbedaan data penduduk miskin tersebut kemudian tidak ditindak lanjuti oleh ketiga lembaga yang bertanggung jawab menyediakan data penduduk miskin itu. Perbedaan data penduduk miskin yang ada tetap dibiarkan saja dan masing-masing lembaga tetap keukeuh dengan data penduduk miskin yang dimilikinya. Padahal, bila menggunakan metode dan acuan profil penduduk miskin yang tepat, maka perbedaan data maupun profil penduduk miskin yang dirilis oleh BPS, Kemensos, maupun TNP2K jelas tak akan berbeda jauh. Itulah sebabnya, perlu perubahan mind set secara fundamental dalam mekanisme kerja penyediaan data dan profil penduduk miskin, baik yang dilakukan oleh BPS, Kemensos, maupun TNP2K.
Selama ini, baik BPS, Kemensos, maupun TNP2K cenderung bekerja secara searah saja dalam menyediakan data dan profil penduduk miskin. Tidak ada kolaborasi terkait pencocokan data maupun validitas data penduduk miskin yang dimiliki masing-masing lembaga. Selain itu, mereka juga tidak membuka kesempatan bagi publik untuk memberikan masukan-masukan terhadap data hasil sensus penduduk miskin yang telah dirilis. Karenanya, penting bagi ketiga lembaga penyedia data dan profil penduduk miskin ini untuk mengubah mind set mekanisme kerjanya menjadi dua arah. Yaitu, dengan saling bekerja sama antara lembaga yang satu dan yang lain, serta dengan turut melibatkan partisipasi publik di dalamnya. Cara yang paling sederhana dan mutakhir tentu saja dengan berkolaborasi menyediakan website pusat data penduduk miskin terpadu. Sehingga, data dan profil penduduk miskin yang dirilis terbuka untuk dapat diamati oleh siapapun dan dimanapun.
Dalam kontek ini, validitas data penduduk miskin akan dapat terjaga. Sebab, ketiga lembaga yang bertanggung jawab merilis data penduduk miskin tersebut akan bisa bersama-sama mengontrol kualitas data yang disajikan. Selain itu, fungsi kontrol publik atas data yang dirilis oleh ketiga lembaga tersebut juga bisa dioptimalkan. Publik bisa memberikan laporan bila dalam data yang dirilis ditengarai terdapat profil penduduk yang tak layak lagi dikategorikan sebagai penduduk miskin. Begitu pula sebaliknya, publik bisa leluasa memberikan laporan bila ada profil penduduk-penduduk miskin baru. Dengan mengubah mind set mekanisme kerja menjadi dua arah, bukan tidak mungkin BPS, Kemensos, maupun TNP2K akan mempunyai data dan profil penduduk miskin yang akurat, sistematis, dan berkala. Sehingga, bila pemerintah nantinya akan kembali mengimplementasikan kebijakan serupa, maka tidak akan lagi muncul polemik di aras publik. Semoga!.

Dimuat dalam opini Serambi Indonesia edisi 10 Desember 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar