Guru dan Iptek

Guru dan Iptek
Oleh Pangki T Hidayat


Sabtu, 25 Januari 2014

Miris dengan carut marut dan kian menurunnya kualitas pendidikan nasional. Bagaimana tidak? Pembelajaran abad 21 yang pada hakekatnya mengarah pada literasi informasi yang hakiki, pada kenyataannya terkendala dengan kemampuan peran guru yang kurang tanggap terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Faktanya, guru yang sudah tersertifikasi pun seringkali kalah bersaing dengan siswanya sendiri terkait penggunaan iptek. Guru kesulitan menggunakan internet atau tidak bisa menghidupkan komputer adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri jika masih ada. Alhasil, mereka pun mengalami kesulitan dalam mengintegrasikan penggunaan iptek ke dalam proses pembelajaran. Kalau sudah seperti ini, maka potensi kegagalan terkait tujuan dari Kurikulum Pendidikan (K-13) ini semakin besar.
Kurikulum 2013 pada hakekatnya adalah kurikulum yang menekankan pada pengintegrasian iptek sebagai media penyampaian setiap proses pembelajaran. Kurikulum ini disiapkan sebagai upaya menyiapkan generasi bangsa yang beriman, berakhlak mulia, mampu menguasai iptek, berbudaya, berwawasan kemanusiaan dan kebangsaan serta peduli lingkungan.
Apa artinya? Sederhananya, guru sebagai ujung tombak pendidikan harus selalu tanggap dan responsif terhadap setiap detail perubahan zaman. Guru tidak boleh hanya statis pada pola pikir yang ada pada kurikulum-kurikulum sebelumnya. Keengganan ujung tombak pendidikan ini, untuk tanggap dan responsif terhadap kebutuhan zaman tentu akan berdampak negatif terhadap kualitas out put yang dihasilkan pendidikan nasional.
Mulyanto dalam artikelnya yang berjudul, "Hubungan Kurikulum Pendidikan di Era Globalisasi dengan Resolusi Belajar," mengemukakan adanya 16 kecenderungan utama yang akan membentuk dunia di masa depan. Secara singkat masing-masing dapat diurai, yakni (1) Zaman komunikasi instan, (2) Dunia tanpa batas ekonomi, (3) Empat lompatan menuju dunia tunggal, (4) Perdagangan dan pembelajaran menuju internet, (5) Masyarakat layanan baru, (6) Penyatuan yang besar dan yang kecil, (7) Era baru kesenjangan, (8) Perubahan bentuk kerja, (9) Perempuan sebagai pemimpin, (10) Penemuan terbaru tentang otak, (11) Nasionalisme budaya, (12) Kelas bawah yang semakin besar, (13) Semakin besarnya jumlah manula, (14) Ledakan praktik mandiri, (15) Perusahaan koperatif dan (16) Kemenangan individu.
Merujuk hal tersebut, jelas sekali bahwa setiap guru wajib mempunyai kemampuan menyiapkan insan cendikia dengan berbasis pada penggunaan iptek. Tujuannya yakni agar peserta didik mampu menghadapi tantangan di era globalisasi ini, apapun permasalahannya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2010, mayoritas penduduk Indonesia berada pada usia muda. Sebanyak 45,93 juta jiwa merupakan kelompok anak usia 0-9 tahun, sedangkan 43,55 juta jiwa adalah anak usia 10-19 tahun. Maka dalam rentang waktu 2020-2030, Indonesia akan memiliki usia produktif yang berlimpah.
Oleh sebab itu, keberhasilan implementasi kurikulum pendidikan yang menekankan pada pengintegrasian iptek adalah mutlak. Keberhasilan dalam mengimplementasikan Kurikulum Pendidikan akan menjadikan negara ini menjadi negara maju di dunia (baca: produsen bagi dunia).
Rekonstruksi Mind Set
Pada awal implementasi Kurikulum Pendidikan 2013, banyak guru yang masih mengalami kebingungan, khususnya yang terkait dengan pengintegrasian iptek dalam proses pembelajaran. Hal ini lebih disebabkan oleh karena masih banyak guru yang gagap terhadap perkembangan iptek dan enggan untuk belajar, yang biasanya lebih karena faktor individu, seperti faktor usia guru yang sudah tua.
Biasanya mereka merasa enggan untuk belajar karena merasa sebentar lagi akan pensiun. Dalam QS, Ar-Ra'du ayat 11 Allah swt berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada dirinya sendiri. Dan, apabila Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia".
Dalam ayat ini secara tersirat telah dijelaskan bahwa, sifat malas dan enggan untuk belajar atau menambah ilmu pengetahuan akan mendekatkan diri pada kehancuran. Oleh karena itu, pola pikir seorang guru yang jauh dari hakekat guru yang seharusnya harus segera dihapuskan.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) perlu dengan segera melakukan langkah-langkah strategis guna merekonstruksi mind set guru-guru yang demikian itu. Yaitu, dengan melakukan pelatihan-pelatihan maupun seminar atau melakukan up grade terkait penggunaan iptek.
Disadari, pendidikan guru pada masa lampau tidak semuanya menggunakan alat modern seperti sekarang. Namun, di era sekarang guru-guru Indonesia dihadapkan pada realita bahwa penguasaan iptek masih lemah dan hal itu adalah sebuah keharusan. Oleh karena itu, mind set lama yang hanya terkesan statis perlu direkonstruksi dan tidak takut pada perubahan karena rekonstruksi intinya adalah perubahan.
Guru harus benar-benar mengimplementasikan mind set yang hakiki sebagai guru, yaitu belajar sepanjang hayat (lifelong learning). Dengan begitu, setiap guru diharapkan bisa selalu up to date terhadap berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi baru. Keberhasilan dalam menciptakan guru melek iptek, akan semakin mendekatkan keberhasilan implementasi K-13 ini.
Penulis adalah merupakan peneliti muda di Communication
Forum For Education (CFFE Yogyakarta), Sarjana Pendidikan
Guru Sekolah Dasar (PGSD), Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. 
 
 
Dimuat dalam kolom Opini Suara Karya edisi 25 Januari 2014 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar